SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

Kamis, 11 Agustus 2011

SAJAK-SAJAK ASIKIN HIDAYAT


PEREMPUAN-PEREMPUAN DI ARENA PANEN PADI

tetapi demikianlah takdir, mengantarmu merayapi lubang-lubang sepi di pematang keseharian, sawah masa depan yang lunak ketika peluh mengalir di ketiak dan paha-pahamu yang tertutup rapat kain belacu

adalah perempuan-perempuan di arena panen padi
dengan tangan menggenggam ani-ani, mengetam setiap tangkai kemudian disimpul seutas tali; dan takdirmulah pula ketika sebulir demi sebulir padi terjatuh
mengendap lama di kefanaan zaman, yang bahkan menjadi nisbi ketika harapan menjelma menjadi bagian dari kebutuhan, berahi melenguh di haribaan cinta
tak sedikit pun mengecualikan siapa

masa depan adalah benih-benih yang ditanamnya sendiri, melalui perkawinan dan seremoni bebarit dengan sesaji rujak tujuh rasa tujuh warna bunga dan tujuh selera, maka mandi do’a menjadi sangat sakral ketika beratus harap menyelinap menggagahi kata-kata

memang demikianlah takdir,
katamu sambil menyeka peluh
sementara matahari mengantar langkah-langkahmu menepi di keteduhan waktu

2008




BUNGA

Aku telah membuatmu luka, o bunga
Darah mengalir dari kelopakmu karena kata-kata
Lebih segan menikam daripada membuai
Namun air mata sedikit saja

Memberi isyarat agar aku diam
Sebelum sempat menuliskan anyir di tangkai
(aku pun jadi luka karenanya)
O, dewi yang malang

Maka kuputuskan bersyair saja, di sini
Di halaman hati yang masih gundah
Menanti fatwamu tentang kekasih
Atau tentang lukamu yang terlanjur merenggutku


2008


 KIARAPAYUNG 1


Hari masih menyisakan senyum, ketika
Kaumainkan dawai-dawai kecapi dengan jemarimu
Lantas mulailah kau bercerita :

Pagi telah datang
Mari mencari petang

Namun petang hanya sebuah penanda saja
Sebab selanjutnya yang terkabar adalah tanda tanya
Maka mulailah kau bertanya :

                Jika petang telah datang
                Apa lagi yang kaupinta?

Dan tanya tidak hanya sebatas penanda
Karena berikutnya yang kaurindu adalah penentu
Kemudian mulailah kau berharap :

                Andai aku adalah lagu
                Syahdukan aku lewat senandungmu!



Sumedang, 2008





KIARAPAYUNG 2


“Kemasi barangmu
Dan mulailah bernyanyi…”

Berkali-kali kaubisikkan itu di telingaku
Padahal tak sebait pun aku punya lagu

“Lagumu adalah penyesalan
Terimalah kekalahanmu…”

Seakan dendam tak pernah lekang
Maka kutulis janji pada suatu pagi yang dingin

“Takkan kukemasi barangku
Takkan kunyanyikan lagu
Takkan kuterima kekalahanku!”

(Hingga akhirnya kutemukan jejakku
Di antara sejumlah jejak pecundang lainnya
Di sepanjang perjalanan pulang!)


2008

Senin, 08 Agustus 2011

ASAL-USUL MAJALENGKA

(Sebuah Catatan Nonsejarah)


I.           Pendahuluan
Majalengka adalah sebuah wilayah kabupaten yang terletak di Jawa Barat, berada pada ketinggian kurang lebih 150 m di atas permukaan laut. Berbatasan dengan wilayah kabupaten Cirebon dan Kuningan di sebelah Timur, dengan Ciamis di sebelah Selatan, dengan Kabupaten Sumedang di wilayah Barat, dan dengan Kabupaten Subang dan Indramayu di sebelah Utara.
Matapencaharian penduduk Majalengka terutama adalah bertani dan buruh. Kemudian berkembang matapencaharian lain seperti berdagang, pekerja pemberi jasa, dan lain-lain.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda. Namun karena mendapat pengaruh yang kuat dari Indramayu dan Cirebon, maka di beberapa wilayah yang berbatasan langsung dengan daerah-daerah itu, sebagian masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa Cirebon, misalnya di Sumberjaya, Parapatan, Jatiwangi, Ligung, dan Jatitujuh.
Di Majalengka juga berkembang kesenian khas Majalengkaan seperti kuda renggong, sampyong, gaok. Di samping itu berkembang pula kesenian lain sebagai pengaruh budaya Parahiangan, seperti degung, kecapi suling, jaipongan, reog, wayang golek, calung, dan lain-lain. Kesenian yang tampak sebagai pengaruh dari Cirebon (Jawa) adalah wayang kulit dan tari topeng.  Kesenian yang disebut terakhir justru memiliki ciri tersendiri sebagai topeng Majalengkaan, seperti tari roping yang berkembang di Beber, Ligung.
Dari uraian di atas, tampaklah bahwa perkembangan bahasa dan perkembangan kesenian merupakan perpaduan budaya Cirebon dan budaya Parahiangan. Keduanya singgah di Majalengka dan menjadi kebudayaan yang berkembangan di Majalengka. Perpaduan demikian tidak dapat dilepaskan dari faktor kesejarahan di wilayah Majalengka yang erat kaitannya dengan Cirebon dan Parahiangan. Di dalam sejarah Majalengka disebutkan, bahwa Nyi Rambutkasih yang berkuasa di Sindangkasuh (nama sebelum Majalengka) adalah keturunan Pajajaran, artinya ia seoranga keturunan Parahiangan. Dalam perkembangannya mendapat pengaruh dari Cirebon, yakni dengan datangnya Pangeran Muhammad sebagai utusan Sunan Gunung Jati yang berkuasa di Cirebon. Kedatangan orang-orang Cirebon di Majalengka tentu daja sedikit banyak memberikan warna terhadap perkembangan budaya di Majalengka.
Berikut akan diuraikan asal-usul Majalengka yang memberikan gambaran tentang masuknya pengaruh Cirebon di Majalengka. Namun sebelunya perlu dipahami, bahwa uraian tentang asal usul Majalengka, hingga saat ini baru berdasar pada tradisi lisan yang berkembang di masyarakat. Belum ditemukan sumber rtertulis yang dapat dijadikan pegangan kuat tentang bagaimana Majalengka dapat berdiri. Baru-baru ini kita memperingati Hari Jadi Majalengka yang ke-517, dengan ketetapan peringatannya setiap tanggal 7 Juni. Bagaimanapun, kita patut menghormati jerih payah para Bapak kita dahulu yang telah mencoba menentukan hari jadi Majalengka, walaupun masih perlu dikaji kebenarannya.
II.        Asal Usul Majalengka
Pada abad ke-14 ada sebuah kerajaan bernama Sindangkasih. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang ratu bernama Nyi Rambutkasih. Ia seorang ratu yang adil dan bijksana . Nyi Rambutkasih adalah putra dari Ki Gedeng Sindangkasih, masih kerabat dekat dengan Prabu Siliwangi dari Pajajaran. Agama yang dianut rakyat Sindangkasih pada waktu itu adalah agama Hindu. Nyi Rambutkasih selalu mengajak rakyatnya menjalankan ibadah agama Hindu dengan taat.
Matapencaharian masyarakat Sindangkasih pada waktu itu adalah bertani. Namun untuk kelestarian lingkungan, di wilayah ini ditanam berbagai pohon, yang salah satu di antaranya bernama pohon maja. Pohon ini selain sebagai tanaman hias, batangnya dapat dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit. Karena itu, Nyi Rambutkasih memerintahkan rakyatnya untuk menanam pohon ini sebanyak-banyaknya, karena khasiat dan kegunaannya sudah terbukti.
Pada waktu yang bersamaan, di wilayah Karajaan Islam Cirebon sedang terjadi wabah penyakit. Hampir setiap hari terdapat orang yang meninggal. Melihat keadaan demikian, Sunan Gunung Djati yang menjadi raja di Cirebon, merasa sangat prihatin. Ia kemudian mengumpulkan abdi-abdi negara untuk membicarakan musibah yang sedang terjadi. Tabib-tabib pun diundang untuk dimintai pendapatnya mengenai kejadian itu. Dari para tabib didapat kabar, bahwa penyakit yang merajalela itu hanya dapat disembuhkan dengan ramuan yang diolah dari pohon maja.
“Di mana kira-kira pohon maja itu adanya?” demikian pertanyaan Sunan Gunung Djati.
Salah seorang peserta rembugan mengacungkan tangan, menjawab : “Hamba tahu, Kanjeng Gusti. Pohon maja dapat kita temukan di sebelah barat. Di wilayah perbatasan Karajaan Sumedanglarang.”
Maka diutuslah segera Pangeran Muhammad bersama istrinya Siti Armilah untuk pergi ke perbatasan Sumedanglarang, yaitu di wilayah karajaan Sindangkasih, untuk mencari pohon maja yang konon rasanya pahit sekali. Para tabib tahu, pohon maja dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Pangeran Muhammad, putra dari Pangeran Palakaran, pergi bersama istrinya ke wilayah barat. Di tapal batas Sindangkasih, mereka bertemu dengan dua orang jagasatru (penjaga perbatasan). Para jagasatru itu bertanya, apa maksud kedatangan Pangeran Muhammad dan Siti Armillah. Pada saat itu, Pangeran Muhammad tidak mengatakan yang sebenarnya, ia hanya meminta agar ia dipertemukan dengan Ratu Nyi Rambutkasih.
Para jagasatru itu kemudian pergi menemui Nyi Rambutkasih.
“Ampun, Nyi Ratu, kita kedatangan tamu dari Cirebon. Bolehkah kami mengizinkannya masuk?” tanya kedua jagasatru itu.
“Persilakan masuk.”
Pangeran Muhammad dan Siti Armillah pun menemui Nyi Rambutkasih.
“Apa maksud kedatangan kalian ke sini?”
“Ampun, Nyi Ratu. Kami berdua datang ke sini dengan dua maksud.”
“Sebutkan maksud yang pertama.”
“Maksud yang pertama adalah mencari pohon maja untuk bahan ramuan obat penyakit yang menggejala di daerah kami di Cirebon.”
“Maksud yang kedua?”
“Maksud yang kedua adalah mengajakmu dan rakyatmu untuk memeluk agama Islam.”
Mendengar jawaban Pangeran Muhammad seperti itu Nyi Rambutkasih terdiam sejenak, kemudian berkata dengan penuh bijaksana.
“Ki sanak, maksud kalian untuk menjadikan aku dan rakyatku menganut agama Islam, sebenarnya tidak bisa aku tolak. Akan tetapi, aku sendiri tidak bisa menganut agama Islam, karena Hindu adalah agama leluhurku. Tidak mungkin aku menghianati keramat luluhurku.”
“Bagaimana dengan rakyatmu?”
“Aku menyerahkan hal itu kepada kehendak mereka sendiri. Bagi mereka yang ingin ikut denganku, ikutlah! Akan tetapi bagi mereka yang ingin berpindah dan menganut agama Islam, silakan!”
“Terus, bagaimana tentang pohon maja itu?”
“Karena kalian datang ke sini tidak murni untuk mencari obat, akan tetapi diembel-embeli dengan mengajarkan agama Islam, maka aku tidak mengijinkan pohon majaku kalian ambil.”
“Kasihanilah kami, Nyi Ratu!”
“Rasa belas kasihan itu hanya ada pada Tuhan yang kalian anut. Aku sendiri tidak!”
Bersamaan dengan itu, menghilanglah raga Nyi Rambutkasih dan beberapa orang rakyatnya yang setia menganut agama leluhurnya. Dina saat itu pula, menghilanglah pohon maja yang dicari Pangeran Muhammad dan Siti Armillah.
Melihat keadaan demikian, maka berteriaklah Muhammad di hadapan orang-orang Sindangkasih yang tidak ikut menghilang bersama Nyi Rambutkasih : “Madya langka!”
Dijawab oleh rakyat yang waktu itu juga masuk agama Islam : “Madya Langka!”
“Madya langka!”
“Majalengka!”
Maka sejak sebutan madya langka berubah menjadi majalengka maka kejayaan Sindangkasih pun berakhir. Berdirilah karajaan Majalengka, yang dipimpin langsung oleh rajanya yang pertama : Pangeran Muhammad!
Konon, Pangeran Muhammad pada waktu meninggalnya dimakamkan di Gunung Margatapa, sedangkan Siti Armillah makamnya dapat ditemukan di halaman belakang pendopo Kabupaten Majalengka, yang dikenal dengan sebutan Embah Badori.


III.     Penutup
Demikianlah asal-usul Majalengka, yang selanjutnya dapat saja dijadikan pedoman oleh masyarakat sebagai sumber dongeng lisan. Selebihnya adalah tanggung jawab kita semua sebagai generasi muda untuk selalu terus menggali sumber-sumber lain yang lebih kuat.
Insya Allah!

Jumat, 05 Agustus 2011

PRAK-PRAKAN NGAJARKEUN PUPUH


Di handap ieu kasanggakeun conto ngajarkeun pupuh. Sakumaha prak-prakan ngajar, aya tilu tahapan anu kedah dilakonan ku guru jeung siswa, antawisna bae : bubuka, inti, jeung panutup. Pereleanana sakumaha kaungel ieu di handap :

BUBUKA :
1.       Guru mariksa kaayaan murid diawaln ku kecap : “Sampurasun! Kumaha kaayaan hidep poe ieu, sarehat? 2. Saha nu teu sakola? (jeung saterusna).
2.       Guru nerangkeun yen poe ieu rek diajar ngahaleuang dangding wangun pupuh.
3.       Guru ngajak barudak ngabandungan dangding anu dihaleuangkeun ku guru atawa tina kaset. Contona guru ngahaleuangkeun Pupuh Maskumambang.

Itu kusir bangun ambek-ambek teuing
Turun tina delman
Kuda dipecutan tarik
Teu aya pisan ras-rasan.

4.       Rengse ngahaleuang, guru naros ka murid, dangding naon anu nembe dihaleuangkeun. Murid reang ngajawab sakumaha kaweruhna.
5.      Guru nerangkeun yen anu tadi dihaleuangkeun teh dangding dina wangun pupuh. Ari anu dimaksud dangding nyaeta tembang atawa haleuang sora atawa vocal, sedengkeun pupuh nyaeta sesebutan pikeun dangding ngarah teu pahili jeung dangding anu sejenna, anu saterusna urang sebut bae pupuh.
6.       Guru naros ka murid : “Aya sabaraha hiji ari pupuh?” Murid ngajawab. Guru ngamuhunkeun lamun jawaban murid bener, sarta menerkeun lamun jawaban murid salah.
7.       Guru saterusna nyarita : “Cik sebutkeun, pupuh naon bae anu tujuh belas teh?” Murid ngajawab.
8.       Guru naros : naon bedana antara pupuh jeung kawih? Murid ngajawab.
Guru  nerangkeun yen pupuh jeung kawih aya bedana, pupuh teh nya eta dangding anu lamun dihaleuangkeun henteu kauger ku embat atau ketukan. Nanging pupuh kauger ku guru lagu, jeung guru wilangan. Guru lagu nya eta panungtung dina unggal padalisan, ari guru wilangan nya eta lobana engang dina unggal padalisan. Padalisan teh nyaeta jajaran dina unggal pada, ari pada nyaeta “bait”. Contona pupuh maskumamdang anu tadi dihaleuangkeun, dina sapadana aya opat padalisan, unggal padalisan diuger ku patokan lobana engang atawa suku kata, jeung dina tungtung sora kauger ku guru lagu. Jadi bakal kieu :
- Padalisan kahiji : guru wilanganana 7 engang, guru laguna i.
- Padalisan kadua : guru wilanganana 5 engang, guru laguna a
- Padalisan katilu : guru wilanganana 8 engang, guru laguna i
- Padalisan kaopat : guru wilanganana 8 engang, guru laguna a.


Lian ti kauger ku patokan gur wilangan jeung guru lagu, pupuh ngabogaan watek lagu, antarana bae :
 Kinanti ngagambarkeun prihatin, harepan, ngadago

Sinom ngagambarkeun gumbira, senang
Asmarandana ngagambarkeun birahi, silih asih
Dangdanggula ngagambarkeun kabungahan, kaagungan
Balakbak ngagambarkeun pikaseurieun, bobodoran
Jurudemung ngagambarkeun kaduhung, hanjakal
Durma ngagambarkeun  ambek, pasea, gelut, perang
Gambuh ngagambarkeun tambuh laku, samar polah, bingung
Gurisa ngagambarkeun tamba kesel, pangangguran
Ladrang ngagambarkeun banyol, heureuy, gogonjakan
Lambang ngagambarkeun banyol, heureuy, gogonjakan anu leuwih motah
Magatru ngagambarkeun nyelang nyarita, ngeusi, prihatin
Maskumambang ngagambarkeun prihatin, sasambat, nyeri, nalangsa
Mijil ngagambarkeun susah, sedih, cilaka, tiiseun, jempling
Pangkur ngagambarkeun lumampah, napsu, sadia rek perang
Pucung ngagambarkeun piwuruk, wawaran, kaget, eling
Wirangrong ngagambarkeun era, wiring, apes, rugi
9.      Sanggeus kitu, guru nerangkeun yen murid kabeh kudu apal kana pupuh, sabab pupuh mangrupa hasil kabinangkitan urang Sunda, ku sabab kitu hayu urang diajar ngahaleuang pupuh Sinom.

INTI :
1.      Guru masang alat peraga (beberan karton) mangrupa rumpaka pupuh Sinom. Memeh prung ngajarkeun, guru nerangkeun heula patokan pupuh sinom, nyaeta guru wilangan, guru lagu, jeung watekna.
2.      Guru maparin conto haleuang pupuh maskumambang boh langsung atawa liwat kaset  dua balikan.
3.      Guru nungtun ngajar ngahaleuang sapadalisan-sapadalisan. Bulak-balik nepi ka bener kabeh. Tuluy diteruskeun ka padalisan kadua, katilu jeung saterusna.
4.      Sanggeus kabeh padalisan diajarkeun, guru ngajak barudak ngahaleuangkeun Sinom sababaraha balikan.
5.      Guru nanya saha nu geus bias ngahaleuang sorangan.
6.      Murid ngahaleuangkeun sinom saurang-saurang, samentara guru meunteun.
7.      Guru mere komentar kana haleuang pupuh barudak, saha bae nu geus alus, saha bae anu masih keneh kudu ditingkatkeun.

PANUTUP :
1.      Guru mere piwejang yen murid kudu ngapalkeundeui pupuh nu tadi diajaran di imah nepi ka bias pisan.
2.      Guru nutup pangajaran ku ngucapkeun : “Sakitu bae heula. Engke sejen waktu urang diajar deui pupuh nu liana. Isukan urang tepung deui. Sampurasun!”

 Catetan pangaweruh :

Dangding mangrupakeun salah sahiji kabinangkitan Sunda nu asalna ti Mataram. Abus ka Sunda heula pandeuri seni wayang jeung seni batik. Dangding teh susunan basa anu dianggit make patokan tembang. Ari ngadangding nya eta ngarang tembang. Dangding kawengku ku basa ugeran, nyaeta kawengku ku patokan-patokan pupuh. Sedengkeun guguritan mah nyaeta jejer atawa poko nu rek dijieun dangding.
Dina ngadangding pupuh aya nu disebut :
  1. Guru Lagu, nyaeta sora panungtung dina unggal padalisan;
  2. Guru Wilangan, nyaeta lobana Engang dina unggal padalisan.

Pupuh

Ari pupuh teh kabehannana aya 17 ( tujuhbelas ) rupa nu kabagi kana dua garis badag, nyaeta:
  1. PUPUH AGEUNG atawa biasa disebut K.S.A.D., nyaeta:
    • Kinanti, wandana: ngadago, prihatin, harepan;
    • b. Sinom, wandana: senang, gumbira:
    • Asmarandana, wandana: birahi, silih asih;
    • Dangdanggula, wandana: kabungah, kaagungan, kaendahan, kalangenan.
    Pupuh nu ieu mah sok dianggo dina waktos midangkeun Seni tembang sunda atawa mamaos cianjuran.
  2. PUPUH ALIT. Pupuh ieu aya 13 ( tilu belas ) rupa, nyaeta:
    • Pupuh Balakbak, wandana: piseurieun, bobodoran;
    • Pupuh Durma, wandana: ngambek, Perang;
    • Pupuh Gambuh, wandana: samar polah;
    • Pupuh Gurisa, wandana: pangangguran;
    • Pupuh Ladrang, wandana: heureuy, gogonjakan;
    • Pupuh Lambang, wandana: banyol, gogonjakan;
    • Pupuh Maskumambang, wandana: prihatin, nalangsa, ceurik;
    • Pupuh Mijil, wandana: susah, sedih, cilaka;
    • Pupuh Magatruk, wandana: hanjakal, kanyaho;
    • Pupuh Juru Demung, wandana: kaduhung;
    • Pupuh Pangkur, wandana: lalmpahan, nafsu;
    • Pupuh Pucung, wandana: piwuruk, apes;
    • Pupuh Wirangrong, wandana: wiwirang, era, rugi.


3