SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

Selasa, 17 April 2012

Note on ‘Heaven’s Border’

Literature | Monday, 2 April 2012 | sundanesecorner.org
Hawé Setiawan 
Di Wates Langit ‘At Heaven’s Border’, published by Majalengka Literary Community (KSM) in 2011, is a poetry anthology by Asikin Hidayat. This is his second poetry anthology after Lagu Simpé ‘Song of Silence’ that was published by Pusaka Kemucen Rajagaluh in 2007.
Born into a family of traditional performing artist in the District of Kadipaten, West Java, on 12 January 1964, the poet lives and works as an English school teacher in Majalengka, one of the north eastern regions in the province. Asikin also writes short stories, some of which were published by Manglé magazine. In addition to his literary and teaching activities, he manages Panghégar Art Studio in the town.
With a short introduction by KSM Chairman Sigit Sulistyo, this 70 pages anthology comprises 70 poems that were created for the last five years.
Here is one of Asikin’s poems:
Ema

Mun seug salira miring ieu galindeng,
Ku hayang nyeueung salira ngulampreng
Ngagupaykeun panangan ngahiap muru lahunan
“Yap, anaking ku Ema diakeup, tiris anaking?”

Aya nu beueus na lalancip panon
Marengan séah cihujan luareun imah
(keur budak kuring haneut na keukeupan Ema,
Ayeuna haneut na hahateup imah)

Ema, mun hujan séah cara ayeuna
Saha nu werat ngeukeupan salira
Padahal salira nunggelis di kalanggengan
“Tiris Ema téh?”

(Mun, kongang hayang ngeukeupan Ema
Bari nyaksian petengna kuburan)
I can’t translate the poem into English. For the sake of non-Sundanese speaking communities, however, let me loosely interpret the poem as follows:
Mother

Had you heard this hum
I would have expected you to come
Waving your hand, taking me to your lap
‘Come here, Son. Let me hug you. It’s chill, isn’t it?’

I feel my eyes wet
In the sound of rain outside the house
(I used to feel the warmth of my mother’s arms,
Now I feel just the warm of my house’s roof)

Mother, in a heavy rain like this
Who would embrace you?
You must be lonely in eternity
‘It’s chill, isn’t it?’

(I want to hug my mother
As I am watching the dark grave)

Menyoal Hari Jadi Majalengka :

BENARKAH 7 JUNI HARI JADI KAB. MAJALENGKA?
Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A.
Dosen Senior Unpad - Bandung

            Sesuai dengan perhatian saya terhadap sejarah daerah, khususnya sejarah daerah Jawa Barat, saya tidak bosan-bosan mengkritisi tanggal yang dianggap hari jadi kabupaten. Hal itu dilakukan semata-mata demi kebenaran sejarah. Sejarah harus berdasarkan fakta yang akurat dan sesuai dengan konteks permasalahannya. Oleh karena itu, tanggal yang dipilih sebagai hari jadi kabupaten, harus sesuai dengan fakta atau momentum berdirinya atau dibentuknya kabupaten. Alasannya sederhana, yaitu untuk menjawab pertanyaan, kapan kabupaten itu mulai berdiri atau dibentuk. Dengan kata lain, hari jadi kabupaten adalah tonggak sejarah kabupaten yang bersangkutan.
            Bagaimana kenyataannya? Seperti telah dikemukakan dalam koran ini beberapa waktu yang lalu, kabupaten-kabupaten di Jawa Barat yang berdiri jauh – puluhan bahkan ratusan tahun – sebelum proklamasi kemerdekaan, yaitu Bogor, Ciamis, Cirebon, Garut, Indramayu, Kuningan, Sumedang, Tasikmalaya dan lain-lain, pemilihan tanggal hari jadinya tidak sesuai dengan fakta berdirinya kabupaten yang bersangkutan.
            Bagaimana halnya dengan Kabupaten Majalengka? Seperti diberitakan dalam koran ini tanggal 7 Juni 2007, bahwa sampai dengan tanggal tersebut, Kabupaten Majalengka telah berusia 517 tahun. Berarti tanggal berdirinya kabupaten itu adalah tanggal 7 Juni 1490. Anggapan bahwa tanggal 7 Juni 1490 adalah tanggal berdirinya Kabupaten Majalengka, bukan lagi diragukan, tetapi jelas salah. Pemilihan tanggal 7 Juni 1490 dikatakan salah, karena tidak sesuai dengan fakta berdirinya Kabupaten Majalengka. Sumbersumber sejarah Jawa Barat menunjukkan pada tahun itu Jawa Barat masih merupakan wilayah Kerajaan Sunda (Pajajaran). Waktu itu di daerah-daerah Jawa Barat belum ada pemerintahan dalam bentuk kabupaten. Akhir abad ke-15, di daerah yang sekarang merupakan wilayah Kabupaten Majalengka masih terdapat kerajaan kecil di Talaga dan Rajagaluh, keduanya bawahan Kerajaan Sunda.
            Di antara sumber-sumber tersebut juga menyatakan, bahwa Kabupaten Majalengka merupakan kelanjutan dari Kabupaten Maja. Sumber akurat menunjukkan, bahwa Maja menjadi kabupaten sehubungan dengan penetapan wilayah Keresidenan Cirebon yang mencakup lima kabupaten, yaitu Cirebon, Bengawan Wetan, Maja, Kuningan, dan Galuh. Pembagian wilayah itu ditetapkan oleh pemerintah kolonial tanggal 5 Januari 1819 (Staatsblad 1819 No. 9 dan 23). Bupati pertama yang memerintah Kabupaten Maja adalah Denda Negara (1819 – 1849), berkedudukan di Sindangkasih. Sejalan dengan perkembangan pemerintahan dan kehidupan masyarakat daerah setempat, tahun 1840 nama kabupaten dan ibukotanya, Sindangkashih, diubah menjadi Majalengka. Secara yuridis formal, perubahan nama itu ditetapkan dalam surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 11 Februari 1840 (Staatsblad 1840 No. 7). Wilayah Kabupaten Majalengka mencakup dua kontrol-afdeling, yaitu Majalengka (daerah pusat kabupaten) dan Rajagaluh. Menurut tradisi lisan yang berkembang di Majalengka, perubahan nama Sindangkasih menjadi Majalengka terjadi setelah Nyi Rambut (Ambet) Kasih – tokoh mitos yang dianggap sebagai penguasa pertama di Sindangkasih – ngahiang (menghilang). Diduga hal itu terjadi pada pertengahan abad ke-16.
            Uraian tersebut – meskipun secara garis besar – mengandung arti, bahwa secara metodologis, pemilihan tanggal 7 Juni 1490 sebagai hari jadi Kabupaten Majalengka, jelas salah. Walaupun tanggal 7 Juni (1490) dianggap sebagai hari jadi Majalengka, tanpa embel-embel kabupaten, tanggal itu tetap salah. Letak kesalahannya, tanggal itu tidak mengacu pada fakta/momentum yang seharusnya menjadi dasar acuan, baik fakta pembentukan Kabupaten Maja maupun momentum perubahan nama Kabupaten Maja menjadi Kabupaten Majalengka atau perubahan nama Sindangkasih menjadi Majalengka.
            Sesuatu yang jelas salah, perlu atau wajib diperbaiki. Demikian pula halnya dengan tanggal hari jadi Kabupaten Majalengka. Bila tidak, hal itu mengandung arti dan dampak negatif. Pertama, pengaburan tonggak sejarah Kabupaten Majalengka. Kedua, bila tanggal 7 Juni (1490) tetap dianggap sebagai hari jadi Kabupaten Majalengka, hal itu berarti menyesatkan pengetahuan masyarakat, termasuk para siswa daerah setempat akan sejarah daerah mereka, khususnya pemahaman akan jati diri kabupaten mereka. Hal itu sangat mungkin terjadi karena masyarakat kita umumnya kurang memiliki kesadaran sejarah. Apabila masyarakat kita memiliki kesadaran sejarah cukup tinggi, kesalahan dalam buku pelajaran sejarah untuk tingkat SLP dan SLA – yang digunakan pula di sekolah-sekolah di Majalengka – akan segera diketahui, khususnya oleh guru-guru pengajar sejarah dan pejabat dinas terkait. Seperti diketahui secara umum, buku pelajaran sejarah berdasarkan kurikulum 2004 yang mengandung berbagai kesalahan, baru ditarik dari peredaran setelah ada instruksi dari jaksa agung.     Berdasarkan hal-hal tersebut, perkenankan saya menghimbau agar tanggal hari jadi Kabupaten Majalengka – walaupun sudah ditetapkan dalam perda (peraturan daerah) – dikaji ulang, sehingga diperoleh tanggal yang benar atau mendekati kebenaran. Pengkajian atau penulisan ulang sejarah bukan hal tabu, melainkan keharusan. Namun, pencarian tanggal hari jadi kabupaten yang berdiri di abad-abad yang lampau, tidak boleh mengacu pada mitos atau perhitungan tradisional untuk mencari hari baik atau bulan baik. Mitos bukan tidak boleh menjadi pengetahuan, tetapi dalam menulis sejarah, perlu dibedakan secara tegas, mana mitos dan mana sejarah.
            Apabila kritik konstruktif tersebut di atas dikaitkan dengan pendidikan, kritik itu merupakan koreksi yang penting artinya bagi pendidikan dan pengetahuan, yaitu bagi pengajaran sejarah kepada para siswa dan pengetahuan masyarakat, sehingga mereka tidak memiliki pemahaman yang salah akan sejarah daerahnya. Sejarah bukan hanya memiliki fungsi informatif, tetapi juga memiliki fungsi edukatif, bahkan fungsi pragmatis. Hal itu tercermin dari ungkapan, antara lain "belajarlah dari sejarah", "sejarah adalah obor kebenaran", dan "sejarah adalah pedoman untuk membangun masa depan". Oleh karena itu, menulis sejarah, termasuk menentukan tanggal hari jadi kabupaten, harus benar, dalam arti berdasarkan fakta yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.
            Mudah-mudahan substansi tulisan ini mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait, khususnya Pemda dan DPRD Kabupaten Majalengka. Dalam hal ini, perlu dikemukakan, bahwa kritik tersebut bukan bermaksud menyalahkan (mendeskreditkan) pihak-pihak yang terlibat dalam penentuan hari jadi Kabupaten Majalangka beberapa waktu yang lalu, melainkan sebagai sumbangsih pemikiran untuk kebenaran sejarah.

Penulis: Sejarawan senior Fakultas Sastra Unpad,
Anggota Dewan Pengurus Pusat Studi Sunda,
dan Anggota Dewan Pakar Sejarah & Budaya
RUWAT (Rukun Wargi Tatar) Sunda.
Catatan: Dimuat dalam PR, 16 Juni 2007.