SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

Senin, 29 Juli 2013

KESAN DAN HARAPAN

(Sebuah Catatan Apresiatif setelah bermukim 3 minggu di Adelaide, Australia Selatan)

Wilayah bagian Selatan bumi yang bernama Australia, tepatnya kota Adelaide, ini telah memberikan banyak informasi tentang berbagai hal, khususnya bagaimana menjalani kehidupan ini secara kondusif, tidak hanya kehidupan pribadi tetapi juga kehidupan sosial secara keseluruhan. Jika kemudian muncul pemikiran untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari di tanah air, kiranya bukanlah hal yang mustahil, karena yang dialami saat itu bukan sebuah mimpi.
 Masih tertanam kuat di dalam benak, bagaimana ‘kami’, para peserta pelatihan guru profesional dari Jawa Barat, berperan sebagai penduduk Adelaide, meskipun hanya dalam waktu tiga minggu (27 Mei – 18 Juni 2012).


Pengalaman menjadi ‘penghuni’ Adelaide, Australia Selatan selama tiga minggu memberikan dampak positip bagi perubahan sikap dan pemikiran. Bermukim dengan penduduk dan berkomunikasi sebagaimana mereka (penduduk setempat) lakukan. Sejenak kami harus melupakan cara kami berkomunikasi di Indonesia. Bahasa Inggris tentu saja menjadi modal utama, namun bahasa isyarat seringkali menjadi useful assistant ketika kami mengalami kesulitan berkomunikasi. Masalah lafal bahasa Inggris orang Australia yang agak berbeda menyebabkan kendala yang cukup berarti ketika kami mencoba memahami tuturan yang mereka ucapkan. Membutuhkan waktu yang lama ternyata untuk bisa mengimbangi lafal spesifik orang Australia.
Sambil merasakan cuaca dingin yang cukup ekstrem, setiap pagi kami menyusuri jalanan sepi menuju halte busway atau stasiun kereta api. Bergabung bersama penduduk setempat di dalam busway dan kareta api atau trem, menuju tempat tujuan masing-masing. Pada saat-saat tertentu kami harus berjalan bersicepat mengimbangi langkah-langkah orang-orang setempat yang sepertinya tidak pernah membiarkan waktu berjalan sia-sia.
Keseharian kami selama berada di Adelaide adalah keseharian yang penuh daya apresiatif. Seperti tidak ada hentinya kami mengagumi kecenderungan setiap orang yang selalu mencoba menghargai privasi masing-masing. Tidak ada istilah saling mengganggu, iseng, dan sebagainya. Jangankan penghargaan terhadap privasi manusia, bahkan privasi binatang pun mendapat tempat yang sama layaknya dengan manusia. Maka tidaklah mengherankan jika sewaktu-waktu satu atau dua orang berjalan-jalan menelusuri trotoar ditemani seekor anjing. Bahkan di tempat cuci mobil disediakan pula jasa cuci binatang peliharaan. Di tempat-tempat terbuka, di halaman rumah, di pepohonan, di sungai, atau di taman-taman kota yang banyak jumlahnya, didapatkan berbagai jenis unggas, seperti angsa, bebek, dan burung yang bebas hidup tanpa takut diganggu manusia. Artinya bahwa binatang pun memiliki hak hidup sesuai privasi yang dimilikinya.
          Glamour kota besar memang sangat terasa, terutama jika kita berada di tengah hirup pikuk orang-orang di pusat kota. Di sepanjang North Terrace, South Terrace, William King St., Taman Victoria, dan di hampir semua bagian kota, nuansa modern sangat akrab dengan semua yang hadir di sana. Namun, dengan penataan yang apik, Pemerintah Adelaide berhasil melebur suasana modern dengan suasana indignous (adat) yang mereka miliki. Penghormatan terhadap keberadaan suku Kaurna (yang konon berasal dari Makasar, Indonesia) diabadikan dengan membuat situs-situs berharga di antara bebangunan modern di sekitarnya. Perpaduan modern dan tradisional pun tampak pada sejumlah bangunan yang mempertahankan bentuk asli, menyiratkan bahwa mereka (orang Australia) adalah pecinta sejarah. Mereka tidak pernah menampik dari mana mereka berasal.
          Penghargaan privasi dirasakan pula oleh mereka yang hobi berolah raga mengendarai sepeda. Pada ruas-ruas jalan tertentu disediakan jalur kecil khusus bagi para pengendara sepeda tanpa risi oleh kendaraan lain di sepanjang jalur jalan itu. Di kereta api, train, atau busway, disediakan ruang kosong untuk para pengendara sepeda yang ingin naik kendaraan umum. Bagi para disabilities disediakan pelayanan khusus. Di trem, kereta api dan busway disediakan tempat duduk, dan bahkan bagi mereka disediakan tempat parkir yang memadai dan mudah diakses. Di sekolah pun disediakan tempat khusus untuk para disabilities sehingga mereka merasa betah dan nyaman berada di lingkungan orang-orang normal. Bukankah semua itu menjadi bukti bahwa privasi setiap orang sangatlah diperhatikan?
          Hidup adalah tatanan keteraturan yang harus dipertahankan dan terus dipelihara dari generasi ke generasi. Demikian mungkin prinsip hidup orang Australia. Bagaimana mereka terbiasa hidup teratur, pergi kerja, pulang kerja, pergi belajar, dan pulang belajar, dijalani menurut hitungan waktu yang sudah terjadwal. Satu menit saja terlena, maka akan ketinggalan kendaraan umum yang kelak membawa mereka ke tempat tujuan. Menghargai waktu adalah sangat vital. Meskipun demikian, tidak berarti mereka harus saling menyingkirkan satu sama lain. Mereka tergesa dalam koridor yang jelas, berdiri pada antrian yang baik. Tidak heran juga jika di sepanjang jalur jalan raya tidak ditemukan pengendara mobil saling menyalip atau mencuri jalan orang lain, atau membunyikan klakson hanya untuk memberi aba-aba agar mobil di depan minggir. Tidak ditemukan pula orang saling menghardik hanya karena haknya dilanggar orang lain, atau orang menggerutu karena terjebak macet.
          Kiranya tatanan hidup teratur seperti demikian tidak terjadi serta merta. Ada satu proses yang kemudian membuat orang Australia terikat akan satu aturan baku meskipun hakikat aturan itu tidak tertulis. Lebih-lebih jika aturan itu tertulis sesuai dengan undang-undang rujukan, seperti misalnya peraturan tidak merokok di tempat-tempat umum, seperti di halte, di dalam gedung ber-AC atau di dalam kendaraan umum. Mematuhi peraturan lebih mudah dibandingkan harus membayar denda kepada pemerintah federal. Artinya bahwa keterikatan mereka kepada aturan adalah hasil dari sebuah pemahaman yang matang. Kemudian pemahaman itu diterapkan melalui informasi yang jelas kepada generasi berikutnya, baik berupa contoh maupun pendidikan, sehingga sikap disiplin itu menjadi sebuah tatanan budaya.
          Faktor lain yang cukup mendukung kondusivitas hidup di Australia adalah jumlah penduduk yang tidak telalu padat. Bisa dipastikan bahwa satu kepala keluarga (KK) hanya dihuni maksimal oleh empat orang, sementara jumlah KK di dalam satu blok tidak lebih dari 10 rumah. Jumlah penduduk dengan tingkat kepadatan yang rendah ini mencerminkan keberhasilan upaya Pemerintah Australia dalam menekan jumlah penduduk. Dengan jumlah penduduk yang jarang seperti demikian, sangatlah mungkin memberikan informasi dan menanamkan disiplin  kepada generasi muda secara jelas dan berkesinambungan. Pun akhirnya berdampak pada terselenggaranya kebiasaan disiplin di dalam kehidupan sosial secara menyeluruh.
          Tertanamnya disiplin pada seluruh bagian masyarakat tidak terlepas dari manajemen penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sebagai sebuah pusat kebudayaan, sekolah menjadi sumber infomasi awal tentang tatanan kehidupan bermasyarakat di Australia. Dengan bekal pengetahuan dari sekolah, siswa mengaplikasinnya di dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Selain itu, kondusivitas yang sudah terjalin menjadi tauladan yang baik bagi generasi muda untuk kemudian dicontoh dalam menjalani kehidupan pribadinya. Sungguh sebuah nuansa yang terekat erat dan menjadi jalinan mata rantai yang tak pernah putus dari satu generasi ke generasi berikutnya.
          Membangun matarantai disiplin semacam itu bukanlah sebuah hal yang mudah, karena dibutuhkan komitmen yang kuat antar berbagai lapisan yang berkepentingan. Bukan hanya sekolah yang berperan menanamkan pemahaman awal, namun kemudian harus ada sinergitas dengan unsur-unsur lain yang terkait. Pihak Pemerintah memiliki peran melembagakan dan melegitimasi peraturan menjadi sebuah bentuk baku yang wajib ditaati warga. Selain itu, kebutuhan warga akan berbagai hal, pendidikan, pekerjaan, ekonomi, termasuk politik, harus dapat dipenuhi sesuai kapasitasnya, sehingga warga dengan sendirinya memandang Pemerintah sebagai sebuah lembaga berwibawa yang pantas dihormati. Pada bagian lain, warga menjadi subyek penting terselenggaranya berbagai peraturan dengan cara mentaatinya dengan penuh konsekuen. Tanpa sinergitas demikian, mustahil sebuah peraturan akan berjalan dengan baik, maka mustahil pula kondusivitas hidup terselenggara.
          Alur kehidupan yang tersaksikan selama mengikuti program pelatihan di Australia, bagi kami, adalah sebuah rangkaian pembelajaran yang amat berharga. Mengapa tidak kita mengambil hikmah dari contoh yang ada di Negeri Kanguru sana?
          Akan sangat sulit memang merubah kondisi Indonesia dengan jumlah penduduknya yang padat untuk bisa menyamai Adelaide. Kondisi Indonesia yang ada saat ini sudah sangat menyatu dengan hati dan karakter manusia Indonesia yang heterogen. Lebih-lebih dengan kondisi daratan yang terpisah-pisah, membangun komitmen menjadi sesuatu yang sangat sulit dilakukan.
          Akan tetapi, dalam batas yang sangat minimal, pengalaman menarik selama di Australia menjadi sebuah bekal berharga untuk diterapkan pada diri sendiri. Prinsip bahwa merubah sesuatu bisa dimulai dari hal-hal kecil dapat diterapkan. Misalnya, penanaman disiplin sederhana, seperti membuang sampah, antri, berkendaraan, itu hal-hal yang sangat mungkin dilakukan. Pemahaman kepada siswa di dalam kelas, selain juga perbaikan strategi mengajar (sebagaimana menjadi temuan selama menjalani program), dapat dilakukan dengan cerita, contoh, dan visualisasi. Adapun hal-hal yang menyangkut perubahan kebijakan, pemenuhan struktur dan infrastruktur yang secara langsung berhubungan kebijakan dan finansial diserahkan sepenuhnya kepada pihak Pemerintah.
          Akhirnya, mudah-mudahan catatan ini bermanfaat. Selamat berjuang, Guru Indonesia!

Majalengka, Juni 2012

Jumat, 26 Juli 2013

ALBUM FOTO SANGGAR SENI PANGHEGAR


















Senin, 22 Juli 2013

SAJAK-SAJAKKU

TAK KUTAHU LAGI


Tak kutahu lagi berapa lama aku dijerat waktu
Menjadi budak setiap kata pada setiap persinggahan
Bahkan hingga di sudut kamar yang sempit ini
Masih saja kucoba mencari ide-ide perlawanan
Kerapkali kubertemu dengan sebilah mata angin
Menerbangkanku hingga ufuk pagi tak menentu
Subuhku dirajam kegelapan semata

Lagi ku mencari-Mu di relief kulit ariku sendiri
Sambil jijik kubisikkan kebusukan hari esok
Setelah begitu tegar menghadapi bau apek hari kemarin
Dengan pesta-pesta seadanya, dengan arak dan serapah
Hingga tersisa di ujung sia-sia
Bentukku makin redup di ujung Subuh-Mu

Jika waktu-Mu adalah jadwal kehidupan
Mengapa aku masih diberi rupa?

2008





GERIMIS DI KOTA CIAMIS

Trotoar ini, telah kutandai sejak siang tadi
Agar kelak mengajakku menimba napas
Merangkum sore menjadi kenangan
Hingga lumat jalan ini pada malam nanti

Kenyataan terkadang sukar ditebak
Kehendak Tuhan-kah ketika setitik air jatuh
Kemudian disusul dengan titik-titik air lainnya
Menjadikan segala menjadi kuyup

Kuyup pulalah harapan jadinya
Seperti dinding kamar yang lembab
Merenungi sepi sepanjang malam
Atap adalah angka-angka waktu bergulir pelan

Kuyup pulalah luapan hatinya
Ketika tak sedetik pun sempat berucap
Padahal sempat diucapkannya janji
“Temui aku di gerbang depan hotel...!”

Kuyup pulalah gerimis hingga pagi
Sampai tak nampak lagi keriangan
Karena hati tak tergoyahkan lagi
“Sudahlah, besok mungkin masih tersisa janji...!”

2010




HARI INI

Masih juga aku merasa resah
Ketika kudapatkan sisa-sisa hari kemarin
Meski sudah kurubah tema perjalanan hari ini

Adalah sepenggal harap yang tak tuntas
Kuselesaikan menjadi sajak
Atau ungkapan lain yang sejenis

Misalnya tentang kepenatan
Dalam hitungan jari
Kemudian lenyap di ujung paling barat matahari

Setidaknya aku akan tahu
Bahwa kalimat pun dapat selesai
Pada tepi sebuah titik

Padahal pada titik itu sendiri
Masih tersisa celah-celah untuk bercermin
Merekam jejak masa lalu

Atau mengintip jejak berikutnya
Maka sengaja pula kusisakan harap
Untuk hari esok

(Sebab esok aku masih berharap ada...!)


2010

Senin, 18 Maret 2013

NILAI-NILAI FILOSOFIS PEMBANGUNAN KABUPATEN MAJALENGKA

Pengantar
  
Pembangunan pada dasarnya adalah proses perubahan yang berkesinambungan ke arah kemajuan dan perbaikan sebagai tujuan yang dikehendaki bersama. Proses perubahan diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan semua lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, sudah menjadi kewajaran jika ada tuntutan untuk menumbuhkan peran partisipatif masyarakat dalam berbagai sektor pembangunan. Pemikiran seperti ini tidak lepas dari tuntutan dinamika pertumbuhan sosio-kultural yang ada. Sebab, dalam suasana persaingan global, masyarakat mesti lebih kreatif melakukan pemberdayaan-diri agar tidak digerus perkembangan kehidupan kontemporer.

Namun demikian, kenyataan empirik dalam kehidupan sosial-politik belum menunjukkan iklim yang dinamis bagi cita-ideal tersebut di atas. Peran partisipatif masyarakat yang tersalurkan lewat musyawarah di tingkat lokal kerapkali tercampakkan di tingkat politis dan legislasi. Pemerataan pembangunan dan keadilan sosial belum sepenuhnya dirasakan masyarakat secara menyeluruh. Lebih dari itu, masyarakat pun belum sepenuhnya berdaya dalam mengikuti dinamika kehidupan kontemporer yang ada.

Kondisi tersebut seyogyanya direspon oleh Pemerintah Pusat dengan menggulirkan program yang lebih mengena. Selama ini Pemerintah memang pernah menggulirkan program PNPM hingga PNPM yang paling mutakhir yaitu PNPM Mandiri Pedesaan. Tujuannya tidak lain dalam rangka mendorong percepatan keberdayaan masyarakat dalam perubahan sosial dan pemerataan hak-hak partisipatif masyarakat terhadap semua akses pembangunan, mulai dari hulu sampai ke hilir.

Program pembangunan, agar mendapat apresiasi positif dari banyak kalangan harus mencerminkan beberapa keunggulan, seperti :
1.      Meningkatnya kemampuan masyarakat dan pemerintah desa dalam pengelolaan pembangunan di daerah;
2.      Adanya partisipasi dan swadaya masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang cukup tinggi;
3.      Hasil dan dampaknya cukup nyata, khususnya dalam penanggulangan kemiskinan;
4.      Pembiayaan pelaksanaan pembangunan relatif lebih murah dan dilaksanakan secara swakelola; dan,
5.      Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kegiatan dan pengambilan keputusan cukup luat.

Namun demikian, program pembangunan yang bergulir tersebut ternyata masih menyisakan sejumlah kelemahan, yakni:
1.      Adanya ekslusivitas proyek lewat penggunaan prosedur kerja yang bersifat khusus. Kelemahan ini berdampak pada kurangnya keterpaduan dan keselarasan dengan program reguler yang sejenis;
2.      Karakter proyek bersifat ad hoc (sementara) sehingga kurang sustainable;
3.      Partisipasi dan pelembagaan masyarakat masih cenderung mobilized, bukan akibat kesadaran reflektif-kritis masyarakat secara utuh;
4.      Penyediaan tenaga bantuan teknis cenderung melahirkan ketergantungan kepada pihak eksternal, sehingga mengurangi nilai kemandirian dan kreativitas masyarakat; serta,
5.      Penguatan kapasitas masyarakat tidak diimbangi dengan penguatan kapasitas pemerintahan lokal.

Analisis atas kelemahan tersebut, pada gilirannya mengundang kebutuhan untuk menyusun rancangan program yang diorientasikan pada keterpaduan antara pemberdayaan sumberdaya manusia secara makro dengan perkembangan kehidupan kontemporer secara praksis. Secara bersamaan, program yang dirancang hendaknya mampu membuka ruang publik yang lebih luas bagi peran partisipatoris masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan dan pembangunan. Selain itu, program ini pun dirancang untuk lebih mnumbuhkembangkan kemengertian dan kesadaran beragam komponen masyarakat untuk tumbuh bersama, baik secara sosial, budaya maupun ekonomi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sementara itu, perkembangan masyarakat yang sangat dinamis sebagai akibat globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ternyata membutuhkan penyesuaian tata nilai dan perilaku. Dalam konteks ini, rancangan program tersebut perlu menempatkan aspek pengembangan kebudayaan yang dapat memberikan arah bagi perwujudan identitas nasional yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa sehingga mampu menciptakan iklim kondusif dan harmonis bagi penguatan nilai-nilai kearifan lokal. Pada gilirannya,  nilai-nilai kearifan lokal inilah yang akan merespon modernisasi dengan positif dan produktif sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan sekaligus mendorong keberdayaan masyarakat dalam mengadopsi budaya global yang lebih relevan bagi upaya percepatan pembangunan.

Untuk merealisasikan gagasan tersebut, dipandang perlu mengintegrasikan program-progam pembangunan dengan progran-program reguler di tingkat lokal melalui dukungan regulasi yang relevan dari pemerintah kabupaten. Dengan demikian, program-program pemberdayaan yang bersifat partisipatif dapat terlembaga secara reguler dan sustainable (berkelanjutan) sebagai bagian dari perencanaan pembangunan daerah. 

Program Sabilulungan adalah program yang di dalamnya terdapat proses adopsi terhadap keunggulan-keunggulan lokal dan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang yang terangkum dalam filosofi “Sindangkasih Sugih Mukti, Majalengka Bagja Raharja” dan visi pembangunan Kabupaten Majalengka: Religius, Maju dan Sejahtera (REMAJA)”. Berikut sekedar masukan (bahan pemikiran) mengenai nilai filosofis pembangunan Kabupaten Majalengka, yang kemudian dapat dijadikan dasar penyusunan program.
1.      Nilai Filosofis
Merunut nilai filosofis Pembangunan Kabupaten Majalengka, terkait erat dengan nilai historis Majalengka yang bermula dari nama kerajaan Sindangkasih yang selama beberapa dekade dipimpin oleh seorang Ratu bernama Nyi Rambutkasih. Sindangkasih merupakan wilayah yang sugih mukti (subur makmur) dan rakyat yang bagja raharja (bahagia). Konteks kemakmuran yang dicapai pada masa keratuan Nyi Rambutkasih ini menjadi inspirasi munculnya sangkakala Sindangkasih Sugih Mukti Majalengka Bagja Raharja yang kemudian menjadi nilai filosofis pembangunan partisipatif Kabupaten Majalengka dari masa ke masa.

Sindangkasih, jika diurai memiliki dua makna kata yang menginspirasi hadirnya sebuah bentangan wilayah yang layak sebagai tempat sindang (singgah) dan mengekalkan kasih (cinta). Sindangkasih – kini nama wilayah kelurahan di Kecamatan Majalengka – merupakan tempat singgah yang penuh cinta. Melalui cinta kasih ditemukan kedamaian, dan kedamaian adalah modal dasar tumbuhnya rasa kebersamaan guna mewujudkan partisipatif masyarakat dalam kegiatan pembangunan.

Sugih berarti subur, ditandai dengan terbentangnya areal tanah pertanian, perkebunan dan kehutanan yang luas. Tanah Majalengka adalah tanah yang memiliki kadar welcome cukup tinggi untuk berbagai jenis tumbuhan. Ini merupakan aset penting untuk mencukupi kebutuhan ekonomi masyarakat melalui kegiatan pertanian, perkebunan dan pemanfaatan lahan hutan.

Mukti bermakna makmur, ditandai dengan kelayakan hidup yang dicapai masyarakat melalui pencapai rata-rata IPM pada batas optimal yang diharapkan. Ini merupakan moedal dasar guna menumbuhkembangkan sektor ekonomi  kerakyatan berbasis pertanian.

Bagja raharja,  memiliki makna bahagia. Kini dapat diinterpretasikan kepada suasana bahagia yang dicapai masyarakat akibat dari upaya-upaya pembangunan yang  ditempuh. Bagja raharja merupakan titik kulminasi yang ditandai dengan tercapainya kehidupan yang serba layak dengan prosentase keluarga sejahtera yang tinggi. Setidaknya, bagja raharja menjadi tujuan utama program pembangunan sabilulungan. 
2.     Nilai Manajerial
Nilai manajerial terkait dengan visi Kabupaten Majalengka Remaja (religius, maju, dan sejahtera).
Religius : Mengandung makna bahwa masyarakat Kabupaten Majalengka dapat meningkatkan pemahaman ajaran agama dan pengamalan agamanya dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Maju: Mengandung makna terwujudnya Kabupaten Majalengka yang lebih baik dengan meningkatnya sumber daya manusia yang berkualitas, keadaan sosial ekonomi masyarakat yang stabil, yang ditandai dengan berkurangnya tingkat kemiskinan dan pengangguran serta ditopang oleh transformasi birokrasi secara bertahap.

Sejahtera : Mengandung makna suatu keadaan masyarakat Kabupaten Majalengka dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasarnya yang ditandai dengan peningkatan derajat kesehatan, pemenuhan pendidikan dasar dan peningkatan daya beli dalam kondisi masyarakat yang aman dan tentram.

Dalam mewujudkan visi di atas, telah ditetapkan Strategi Gerakan Membangun Masyarakat Religius, Maju dan Sejahtera (Gerbang Mas Remaja) yang ditempuh melalui 4 pilar strategi prioritas pembangunan, yaitu :
1)      Gerakan Pembangunan Masyarakat Cerdas, Sehat, Beragama dan Berbudaya (Gerbang Cahaya)
2)      Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas)
3)      Gerakan Pembangunan Pembangunan Pengentasan Kemiskinan Berbasis Kecamatan dan Desa (Gerbang Kencana), dan
4)      Gerakan Pembangunan Pertumbuhan Modal dan Investasi (Gerbang Permata)

Visi dan keempat pilar utama di atas menjadi pedoman sekaligus nilai manajerial yang dipegang teguh oleh para pemangku kepentingan, sebagai pola pikir mendasar dalam melaksanakan proses mulai dari fase perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, sampai dengan fase pengawasan dan pertanggungjawaban, menuju tercapainya masyarakat Kabupaten Majalengka yang religius, maju dan sejahtera (REMAJA).

Nilai-nilai yang terkandung dalam pembangunan Sabilulungan merupakan manifestasi dari Sapta Mandala Panta-panta (Tujuh Wilayah Sakral Berjenjang) sebagai integrasi filosofis manajerial. Mandala adalah wilayah, yang pamkanaannya tidak hanya merujuk kepada suatu wilayah teritorial dengan batas-batas demografis dan birokratis, namun juga dimaknai sebagai wilayah pikir atau wilayah konsep. Ketujuh mandala itu adalah :

1)        Mandala Kahiyangan
Mandala kahiyangan hakikatnya adalah manifestasi aura Ketuhanan yang terkandung dalam visi pertama Kabupaten Majalengka, yaitu mewujudkan masyarakat yang religius. Sebuah kekuatan Allah SWT sebagai Khalik yang seyogyanya menjadi satu-satunya pusat sepiritualitas, di mana semua orang menggantungkan harapan dan do’a. Tuhan akan berkenan mengabulkan permintaan dan do’a setiap makhluk-Nya manakala dilengkapi dengan niat yang tulus dan baik. Program Sabilulungan merupakan niatan baik yang insya Allah terwujud dan dapat dinikmati masyarakat kabupaten Majalengka pada saatnya kelak. Mandala Kahiyangan menjadi pijakan sebelum fase berikutnya dimulai, karena hanya Allah SWT yang – pada kahirnya – menentukan terwujudnya sebuah program, apa pun bentuknya.

2)      Mandala Kahayangan
Di dalam teori manajemen, fase kahayangan merupakan fase perencanaan, yang berarti juga pernyataan kahayang (keinginan) yang dituangkan dalam sejumlah rencana terpadu. Pada tataran ini manajer membuat perencanaan, yakni penetapan sasaran serta cara mencapainya, karena itu langkah pertama dalam proses perencanaan adalah merumuskan sasaran yang ingin di capai.  Perencanaan (planning), hakikatnya merupakan pemilihan yang berhubungan dengan   kenyataan-kenyataan, membuat dan menggunakan asumsi-asumsi yang berhubungan dengan waktu yang akan datang dalam menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan dengan penuh keyakinan untuk tercapainya hasil yang dikehendaki.

3)        Mandala Paniatan
Mandala paniatan berhubungan dengan fungsi pengorganisasian, yakni fase penetapan niat dan kehendak yang melalui pengukuhan organisasi. Pengorganisasian adalah upaya mengorganisasikan sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lain yang dimiliki organisasi. Proses pengorganisasian mencakup; pengalokasian sumber daya, penyusunan jadwal kerja, dan koordinasi antar unit dalam organisasi. Pengorganisasi berhubungan dengan pengaturan struktur melalui penentuan kegiatan untuk mencapai tujuan.

4)        Mandala Patarekahan
Mandala patarekahan merupakan nilai-nilai kearifan lokal yang mengarah kepada fungsi penggerakan (actuating) dalam teori manajerial. Penggerakan meliputi pemberian motivasi, komunikasi, dan koordinasi. Hal ini penting dilakukan mengingat program sabilulungan adalah program krusial yang seyogyanya digerakkan melalui motivasi yang jelas, dikomunikasikan ke berbagai unsur terkait, dan dikoordinasikan ke beberapa pihak yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung terhadap program Sabilulungan.

5)        Mandala Pagelaran
Mandala pagelaran adalah nilai kultural berikutnya yang mengarah kepada fungsi pengawasan dalam manajemen.  Pengawasan dilakukan guna mengecek dan membandingkan hasil yang dicapai dengan standar atau target yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam hal ini, pengawasan atau pengendalian didefinisikan sebagai proses penentuan, apa yang harus dicapai, yaitu standar apa yang sedang disaratkan dalam melaksanakan pekerjaan, menilai pelaksanaan dan apabila perlu melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standard.
6)        Mandala Patembongan
Mandala patembongan merupakan nilai kultural yang merujuk kepada pertanggungjawaban. Suatu pekerjaan dianggap selesai dan memiliki legalitas tinggi bila dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Program Sabilulungan merupakan seperangkat rencana pembangunan yang melibatkan kualitas swadaya masyarakat yang kelak memiliki legalitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

7)        Mandala Pangantenan
Mandala pangantenan adalah nilai kultural yang merujuk kepada hasil yang dapat dinikmati oleh semua unsur dan lapisan masyarakat. Ibarat pengantin, program sabilulungan menjadi bukti rangkaian cinta kasih yang diwujudkan melalui kerja sabilulungan, gotong royong, sekaligus pengejawantahan partisipatif masyarakat.

3.      Nilai Operasional
       Nilai oprasional program ini tercermin dalam rangkaian kata-kata : 
-          Sauyunan, memiliki arti seia sekata, sebuah komitmen untuk melakukan melaksanakan program kerja dan mencapai tujuan bersama.
-          Babarengan, memiliki arti bersama-sama melaksanakan pekerjaan atau gotong royong, yang merupakan karakter asli bangsa Indonesia. Suatu pekerjaan besar akan terasa menjadi ringan dan dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat ketika dikerjakan secara gotong royong. Pada masyarakat pedesaan sifat ini masih kental dan menjadi ikon tersendiri.
-          Ilubiung, memiliki arti turut serta dalam kegiatan pelaksanaan program atau partisipatif. Ini erat kaitannya dengan gotong royong yang para praktiknya merupakan bentuk partisipatif masyarakat dalam rangka mendukung program yang digulirkan.
-          Ngaluluguan, memiliki makna menjadi pionir, menjadi yang pertama mengerjakan sesuatu, teladan yang memberikan makna mendalam bagi para penerus program berikutnya.
-          Pangwangunan, hakikinya merupakan tujuan utama program, yang pada praktinya nanti memutuhkan partisipasi masyarakat yang termotivasi dan terkoordinasi secara matang.