SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

Senin, 18 Maret 2013

NILAI-NILAI FILOSOFIS PEMBANGUNAN KABUPATEN MAJALENGKA

Pengantar
  
Pembangunan pada dasarnya adalah proses perubahan yang berkesinambungan ke arah kemajuan dan perbaikan sebagai tujuan yang dikehendaki bersama. Proses perubahan diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan semua lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, sudah menjadi kewajaran jika ada tuntutan untuk menumbuhkan peran partisipatif masyarakat dalam berbagai sektor pembangunan. Pemikiran seperti ini tidak lepas dari tuntutan dinamika pertumbuhan sosio-kultural yang ada. Sebab, dalam suasana persaingan global, masyarakat mesti lebih kreatif melakukan pemberdayaan-diri agar tidak digerus perkembangan kehidupan kontemporer.

Namun demikian, kenyataan empirik dalam kehidupan sosial-politik belum menunjukkan iklim yang dinamis bagi cita-ideal tersebut di atas. Peran partisipatif masyarakat yang tersalurkan lewat musyawarah di tingkat lokal kerapkali tercampakkan di tingkat politis dan legislasi. Pemerataan pembangunan dan keadilan sosial belum sepenuhnya dirasakan masyarakat secara menyeluruh. Lebih dari itu, masyarakat pun belum sepenuhnya berdaya dalam mengikuti dinamika kehidupan kontemporer yang ada.

Kondisi tersebut seyogyanya direspon oleh Pemerintah Pusat dengan menggulirkan program yang lebih mengena. Selama ini Pemerintah memang pernah menggulirkan program PNPM hingga PNPM yang paling mutakhir yaitu PNPM Mandiri Pedesaan. Tujuannya tidak lain dalam rangka mendorong percepatan keberdayaan masyarakat dalam perubahan sosial dan pemerataan hak-hak partisipatif masyarakat terhadap semua akses pembangunan, mulai dari hulu sampai ke hilir.

Program pembangunan, agar mendapat apresiasi positif dari banyak kalangan harus mencerminkan beberapa keunggulan, seperti :
1.      Meningkatnya kemampuan masyarakat dan pemerintah desa dalam pengelolaan pembangunan di daerah;
2.      Adanya partisipasi dan swadaya masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan yang cukup tinggi;
3.      Hasil dan dampaknya cukup nyata, khususnya dalam penanggulangan kemiskinan;
4.      Pembiayaan pelaksanaan pembangunan relatif lebih murah dan dilaksanakan secara swakelola; dan,
5.      Transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan kegiatan dan pengambilan keputusan cukup luat.

Namun demikian, program pembangunan yang bergulir tersebut ternyata masih menyisakan sejumlah kelemahan, yakni:
1.      Adanya ekslusivitas proyek lewat penggunaan prosedur kerja yang bersifat khusus. Kelemahan ini berdampak pada kurangnya keterpaduan dan keselarasan dengan program reguler yang sejenis;
2.      Karakter proyek bersifat ad hoc (sementara) sehingga kurang sustainable;
3.      Partisipasi dan pelembagaan masyarakat masih cenderung mobilized, bukan akibat kesadaran reflektif-kritis masyarakat secara utuh;
4.      Penyediaan tenaga bantuan teknis cenderung melahirkan ketergantungan kepada pihak eksternal, sehingga mengurangi nilai kemandirian dan kreativitas masyarakat; serta,
5.      Penguatan kapasitas masyarakat tidak diimbangi dengan penguatan kapasitas pemerintahan lokal.

Analisis atas kelemahan tersebut, pada gilirannya mengundang kebutuhan untuk menyusun rancangan program yang diorientasikan pada keterpaduan antara pemberdayaan sumberdaya manusia secara makro dengan perkembangan kehidupan kontemporer secara praksis. Secara bersamaan, program yang dirancang hendaknya mampu membuka ruang publik yang lebih luas bagi peran partisipatoris masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan dan pembangunan. Selain itu, program ini pun dirancang untuk lebih mnumbuhkembangkan kemengertian dan kesadaran beragam komponen masyarakat untuk tumbuh bersama, baik secara sosial, budaya maupun ekonomi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sementara itu, perkembangan masyarakat yang sangat dinamis sebagai akibat globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ternyata membutuhkan penyesuaian tata nilai dan perilaku. Dalam konteks ini, rancangan program tersebut perlu menempatkan aspek pengembangan kebudayaan yang dapat memberikan arah bagi perwujudan identitas nasional yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa sehingga mampu menciptakan iklim kondusif dan harmonis bagi penguatan nilai-nilai kearifan lokal. Pada gilirannya,  nilai-nilai kearifan lokal inilah yang akan merespon modernisasi dengan positif dan produktif sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan sekaligus mendorong keberdayaan masyarakat dalam mengadopsi budaya global yang lebih relevan bagi upaya percepatan pembangunan.

Untuk merealisasikan gagasan tersebut, dipandang perlu mengintegrasikan program-progam pembangunan dengan progran-program reguler di tingkat lokal melalui dukungan regulasi yang relevan dari pemerintah kabupaten. Dengan demikian, program-program pemberdayaan yang bersifat partisipatif dapat terlembaga secara reguler dan sustainable (berkelanjutan) sebagai bagian dari perencanaan pembangunan daerah. 

Program Sabilulungan adalah program yang di dalamnya terdapat proses adopsi terhadap keunggulan-keunggulan lokal dan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang yang terangkum dalam filosofi “Sindangkasih Sugih Mukti, Majalengka Bagja Raharja” dan visi pembangunan Kabupaten Majalengka: Religius, Maju dan Sejahtera (REMAJA)”. Berikut sekedar masukan (bahan pemikiran) mengenai nilai filosofis pembangunan Kabupaten Majalengka, yang kemudian dapat dijadikan dasar penyusunan program.
1.      Nilai Filosofis
Merunut nilai filosofis Pembangunan Kabupaten Majalengka, terkait erat dengan nilai historis Majalengka yang bermula dari nama kerajaan Sindangkasih yang selama beberapa dekade dipimpin oleh seorang Ratu bernama Nyi Rambutkasih. Sindangkasih merupakan wilayah yang sugih mukti (subur makmur) dan rakyat yang bagja raharja (bahagia). Konteks kemakmuran yang dicapai pada masa keratuan Nyi Rambutkasih ini menjadi inspirasi munculnya sangkakala Sindangkasih Sugih Mukti Majalengka Bagja Raharja yang kemudian menjadi nilai filosofis pembangunan partisipatif Kabupaten Majalengka dari masa ke masa.

Sindangkasih, jika diurai memiliki dua makna kata yang menginspirasi hadirnya sebuah bentangan wilayah yang layak sebagai tempat sindang (singgah) dan mengekalkan kasih (cinta). Sindangkasih – kini nama wilayah kelurahan di Kecamatan Majalengka – merupakan tempat singgah yang penuh cinta. Melalui cinta kasih ditemukan kedamaian, dan kedamaian adalah modal dasar tumbuhnya rasa kebersamaan guna mewujudkan partisipatif masyarakat dalam kegiatan pembangunan.

Sugih berarti subur, ditandai dengan terbentangnya areal tanah pertanian, perkebunan dan kehutanan yang luas. Tanah Majalengka adalah tanah yang memiliki kadar welcome cukup tinggi untuk berbagai jenis tumbuhan. Ini merupakan aset penting untuk mencukupi kebutuhan ekonomi masyarakat melalui kegiatan pertanian, perkebunan dan pemanfaatan lahan hutan.

Mukti bermakna makmur, ditandai dengan kelayakan hidup yang dicapai masyarakat melalui pencapai rata-rata IPM pada batas optimal yang diharapkan. Ini merupakan moedal dasar guna menumbuhkembangkan sektor ekonomi  kerakyatan berbasis pertanian.

Bagja raharja,  memiliki makna bahagia. Kini dapat diinterpretasikan kepada suasana bahagia yang dicapai masyarakat akibat dari upaya-upaya pembangunan yang  ditempuh. Bagja raharja merupakan titik kulminasi yang ditandai dengan tercapainya kehidupan yang serba layak dengan prosentase keluarga sejahtera yang tinggi. Setidaknya, bagja raharja menjadi tujuan utama program pembangunan sabilulungan. 
2.     Nilai Manajerial
Nilai manajerial terkait dengan visi Kabupaten Majalengka Remaja (religius, maju, dan sejahtera).
Religius : Mengandung makna bahwa masyarakat Kabupaten Majalengka dapat meningkatkan pemahaman ajaran agama dan pengamalan agamanya dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Maju: Mengandung makna terwujudnya Kabupaten Majalengka yang lebih baik dengan meningkatnya sumber daya manusia yang berkualitas, keadaan sosial ekonomi masyarakat yang stabil, yang ditandai dengan berkurangnya tingkat kemiskinan dan pengangguran serta ditopang oleh transformasi birokrasi secara bertahap.

Sejahtera : Mengandung makna suatu keadaan masyarakat Kabupaten Majalengka dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasarnya yang ditandai dengan peningkatan derajat kesehatan, pemenuhan pendidikan dasar dan peningkatan daya beli dalam kondisi masyarakat yang aman dan tentram.

Dalam mewujudkan visi di atas, telah ditetapkan Strategi Gerakan Membangun Masyarakat Religius, Maju dan Sejahtera (Gerbang Mas Remaja) yang ditempuh melalui 4 pilar strategi prioritas pembangunan, yaitu :
1)      Gerakan Pembangunan Masyarakat Cerdas, Sehat, Beragama dan Berbudaya (Gerbang Cahaya)
2)      Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas)
3)      Gerakan Pembangunan Pembangunan Pengentasan Kemiskinan Berbasis Kecamatan dan Desa (Gerbang Kencana), dan
4)      Gerakan Pembangunan Pertumbuhan Modal dan Investasi (Gerbang Permata)

Visi dan keempat pilar utama di atas menjadi pedoman sekaligus nilai manajerial yang dipegang teguh oleh para pemangku kepentingan, sebagai pola pikir mendasar dalam melaksanakan proses mulai dari fase perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, sampai dengan fase pengawasan dan pertanggungjawaban, menuju tercapainya masyarakat Kabupaten Majalengka yang religius, maju dan sejahtera (REMAJA).

Nilai-nilai yang terkandung dalam pembangunan Sabilulungan merupakan manifestasi dari Sapta Mandala Panta-panta (Tujuh Wilayah Sakral Berjenjang) sebagai integrasi filosofis manajerial. Mandala adalah wilayah, yang pamkanaannya tidak hanya merujuk kepada suatu wilayah teritorial dengan batas-batas demografis dan birokratis, namun juga dimaknai sebagai wilayah pikir atau wilayah konsep. Ketujuh mandala itu adalah :

1)        Mandala Kahiyangan
Mandala kahiyangan hakikatnya adalah manifestasi aura Ketuhanan yang terkandung dalam visi pertama Kabupaten Majalengka, yaitu mewujudkan masyarakat yang religius. Sebuah kekuatan Allah SWT sebagai Khalik yang seyogyanya menjadi satu-satunya pusat sepiritualitas, di mana semua orang menggantungkan harapan dan do’a. Tuhan akan berkenan mengabulkan permintaan dan do’a setiap makhluk-Nya manakala dilengkapi dengan niat yang tulus dan baik. Program Sabilulungan merupakan niatan baik yang insya Allah terwujud dan dapat dinikmati masyarakat kabupaten Majalengka pada saatnya kelak. Mandala Kahiyangan menjadi pijakan sebelum fase berikutnya dimulai, karena hanya Allah SWT yang – pada kahirnya – menentukan terwujudnya sebuah program, apa pun bentuknya.

2)      Mandala Kahayangan
Di dalam teori manajemen, fase kahayangan merupakan fase perencanaan, yang berarti juga pernyataan kahayang (keinginan) yang dituangkan dalam sejumlah rencana terpadu. Pada tataran ini manajer membuat perencanaan, yakni penetapan sasaran serta cara mencapainya, karena itu langkah pertama dalam proses perencanaan adalah merumuskan sasaran yang ingin di capai.  Perencanaan (planning), hakikatnya merupakan pemilihan yang berhubungan dengan   kenyataan-kenyataan, membuat dan menggunakan asumsi-asumsi yang berhubungan dengan waktu yang akan datang dalam menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan dengan penuh keyakinan untuk tercapainya hasil yang dikehendaki.

3)        Mandala Paniatan
Mandala paniatan berhubungan dengan fungsi pengorganisasian, yakni fase penetapan niat dan kehendak yang melalui pengukuhan organisasi. Pengorganisasian adalah upaya mengorganisasikan sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lain yang dimiliki organisasi. Proses pengorganisasian mencakup; pengalokasian sumber daya, penyusunan jadwal kerja, dan koordinasi antar unit dalam organisasi. Pengorganisasi berhubungan dengan pengaturan struktur melalui penentuan kegiatan untuk mencapai tujuan.

4)        Mandala Patarekahan
Mandala patarekahan merupakan nilai-nilai kearifan lokal yang mengarah kepada fungsi penggerakan (actuating) dalam teori manajerial. Penggerakan meliputi pemberian motivasi, komunikasi, dan koordinasi. Hal ini penting dilakukan mengingat program sabilulungan adalah program krusial yang seyogyanya digerakkan melalui motivasi yang jelas, dikomunikasikan ke berbagai unsur terkait, dan dikoordinasikan ke beberapa pihak yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung terhadap program Sabilulungan.

5)        Mandala Pagelaran
Mandala pagelaran adalah nilai kultural berikutnya yang mengarah kepada fungsi pengawasan dalam manajemen.  Pengawasan dilakukan guna mengecek dan membandingkan hasil yang dicapai dengan standar atau target yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam hal ini, pengawasan atau pengendalian didefinisikan sebagai proses penentuan, apa yang harus dicapai, yaitu standar apa yang sedang disaratkan dalam melaksanakan pekerjaan, menilai pelaksanaan dan apabila perlu melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standard.
6)        Mandala Patembongan
Mandala patembongan merupakan nilai kultural yang merujuk kepada pertanggungjawaban. Suatu pekerjaan dianggap selesai dan memiliki legalitas tinggi bila dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Program Sabilulungan merupakan seperangkat rencana pembangunan yang melibatkan kualitas swadaya masyarakat yang kelak memiliki legalitas yang dapat dipertanggungjawabkan.

7)        Mandala Pangantenan
Mandala pangantenan adalah nilai kultural yang merujuk kepada hasil yang dapat dinikmati oleh semua unsur dan lapisan masyarakat. Ibarat pengantin, program sabilulungan menjadi bukti rangkaian cinta kasih yang diwujudkan melalui kerja sabilulungan, gotong royong, sekaligus pengejawantahan partisipatif masyarakat.

3.      Nilai Operasional
       Nilai oprasional program ini tercermin dalam rangkaian kata-kata : 
-          Sauyunan, memiliki arti seia sekata, sebuah komitmen untuk melakukan melaksanakan program kerja dan mencapai tujuan bersama.
-          Babarengan, memiliki arti bersama-sama melaksanakan pekerjaan atau gotong royong, yang merupakan karakter asli bangsa Indonesia. Suatu pekerjaan besar akan terasa menjadi ringan dan dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat ketika dikerjakan secara gotong royong. Pada masyarakat pedesaan sifat ini masih kental dan menjadi ikon tersendiri.
-          Ilubiung, memiliki arti turut serta dalam kegiatan pelaksanaan program atau partisipatif. Ini erat kaitannya dengan gotong royong yang para praktiknya merupakan bentuk partisipatif masyarakat dalam rangka mendukung program yang digulirkan.
-          Ngaluluguan, memiliki makna menjadi pionir, menjadi yang pertama mengerjakan sesuatu, teladan yang memberikan makna mendalam bagi para penerus program berikutnya.
-          Pangwangunan, hakikinya merupakan tujuan utama program, yang pada praktinya nanti memutuhkan partisipasi masyarakat yang termotivasi dan terkoordinasi secara matang.

Jumat, 08 Maret 2013

SENI GAOK MAJALENGKA


            Gaok merupakan kesenian jenis mamaos (membaca teks) atau disebut juga wawacan,  dari kata wawar ka nu acan (memberi tahu kepada yang belum mengetahui), yang disuguhkan untuk keperluan ritual atau upacara adat ‘ngayun’ (acara seminggu kelahiran bayi). Kata gaok berasal dari kata “gorowok” artinya berteriak, karena gaok dibawakan dengan cara dinyanyikan dengan suara yang keras atau dengan nada tinggi.
          Gaok dibawakan dengan cara memaparkan cerita babad tanpa iringan musik. Jika sekarang terdapat penambahan alat musik, itu hanya digunakan sebagai pembuka saja, tidak digunakan untuk mengiringi mamaos / gaok secara keseluruhan. Sering alat musik digunakan hanya sebagai jeda saja.
            Berkembang di Majaléngka sejak masa peme-rintahan Pangéran Muhammad, yaitu pada abad ke-15. Diprediksi bahwa gaok merupakan media dakwah Islam sebelum masyarakat mengenal budaya baca. Kesenian ini mengalami sinkritisme antara nilai-nilai budaya etnis Sunda dengan budaya Islam yang datang dari Cirebon. Artinya ada pencampuran antara nilai budaya Sunda dengan nilai budaya Islam. Misalnya, pertunjukan dimulai dengan ucapan basmallah, namun bahasa yang digunakan kemudian adalah bahasa Sunda.
        Tokoh yang berperan mengembangkan kesenian gaok antaranya adalah Sabda Wangsaharja sekitar tahun 1920-an. Beliau berdomisili di Kulur, Majaléngka.
           Gaok dimainkan oleh empat sampai enam orang pemain yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Baju yang digunakan adalah baju kampret atau toro, lengkap dengan ikat kepala.
            Pertunjukan dipimpin oleh seorang dalang / pangrawit, dan pemain lainnya berperan sebagai juru mamaos. Selain sebagai juru mamaos, setiap pemain memegang sebuah alat musik atau waditra yang sangat sederhana, semuanya terbuat dari bambu, yaitu berupa kecrek, gendang bambu atau dapat juga digunakan buyung, dan gong bambu yang dibunyikan dengan cara ditiup. Penambahan waditra pada kesenian gaok ini sebenarnya hanya upaya diversifikasi saja, karena secara original gaok tidak diiringi musik.
            Karena sudah dilengkapi alat musik, maka tata urutannya sebagai berikut :
1.      Tatalu, atau tabuhan pra pertunjukan
2.      Lalaguan, antara lain lagu-lagu pupujian, dan
3.      Pertunjukan, berisi cerita babad, cerita rakyat (dongeng), dsb.
            Pada tahap pertunjukan, dalang membacakan larik-larik naskah yang kemudian setiap larik yang dibacakan itu dinyanyikan oleh juru mamos secara bergantian. Jenis lagu bersumber dari pupuh yang berjumlah 17. Namun lebih banyak menyanyikan lagu-lagu Ageung, yaitu Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula.
            Cerita dalam pergelaran seni Gaok  di antaranya adalah : Cerita Umar Maya, Sulanjana, Barjah, Sarmun, dsb. Bahan cerita Gaok kini ada yang sudah ditulis, antaranya Nyi Rambutkasih dan Talagamanggung, keduanya ditulis oleh E. Wangsadihardja (alm.).
        Kesenian Gaok saat ini merupakan salah satu kesenian yang langka di Majaléngka dan memerlukan perhatian yang serius dalam pembinaannya. Dalam hal ini perlu adanya upaya regenerasi melalui pendidikan kesenian, baik praktis maupun apresiasi.
            Gaok yang hidup di Majaléngka sekarang tercatat hanya dua grup saja, yaitu di Désa Kulur dan di Burujul. Di Désa Kulur, pelestarian kesenian gaok dilakukan oleh E. Wangsadihardja. Setelah beliau meninggal pada tahun 2006, kesenian Gaok dilanjutkan oleh para penerusnya, yaitu Sukarta dkk.
            Banyak pemikiran yang terlontar agar kemudian Gaok ditampilkan dengan pembaharuan-pembaharuan, misalnya pembaharuan dalam pemain dan teknik memainkannya. Nono Sudarmono melalui Tesis-nya mencoba mengangkat Gaok dengan lontaran idea kolaborasi, yakni pertunjukan gaok dengan iringan alat musik yang lebih dinamis, serta dimainkan dengan cara berdiri, menari, atau menyertakan adegan drama. Ide ini kemudian dikembangkan oleh Sanggar Seni Panghegar yang mencoba menampilkan Gaok Kolaborasi, dan sempat dipertunjukkan di Gasibu Bandung beberapa waktu yang lalu. Pertunjukan itu sendiri mendapat sambutan hangat dan bagi sebagian pihak ini merupakan upaya positip guna menghidupkan kembali Gaok di tengah alam globalisasi sekarang ini.
        Semoga!