SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

Senin, 29 Juli 2013

KESAN DAN HARAPAN

(Sebuah Catatan Apresiatif setelah bermukim 3 minggu di Adelaide, Australia Selatan)

Wilayah bagian Selatan bumi yang bernama Australia, tepatnya kota Adelaide, ini telah memberikan banyak informasi tentang berbagai hal, khususnya bagaimana menjalani kehidupan ini secara kondusif, tidak hanya kehidupan pribadi tetapi juga kehidupan sosial secara keseluruhan. Jika kemudian muncul pemikiran untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari di tanah air, kiranya bukanlah hal yang mustahil, karena yang dialami saat itu bukan sebuah mimpi.
 Masih tertanam kuat di dalam benak, bagaimana ‘kami’, para peserta pelatihan guru profesional dari Jawa Barat, berperan sebagai penduduk Adelaide, meskipun hanya dalam waktu tiga minggu (27 Mei – 18 Juni 2012).


Pengalaman menjadi ‘penghuni’ Adelaide, Australia Selatan selama tiga minggu memberikan dampak positip bagi perubahan sikap dan pemikiran. Bermukim dengan penduduk dan berkomunikasi sebagaimana mereka (penduduk setempat) lakukan. Sejenak kami harus melupakan cara kami berkomunikasi di Indonesia. Bahasa Inggris tentu saja menjadi modal utama, namun bahasa isyarat seringkali menjadi useful assistant ketika kami mengalami kesulitan berkomunikasi. Masalah lafal bahasa Inggris orang Australia yang agak berbeda menyebabkan kendala yang cukup berarti ketika kami mencoba memahami tuturan yang mereka ucapkan. Membutuhkan waktu yang lama ternyata untuk bisa mengimbangi lafal spesifik orang Australia.
Sambil merasakan cuaca dingin yang cukup ekstrem, setiap pagi kami menyusuri jalanan sepi menuju halte busway atau stasiun kereta api. Bergabung bersama penduduk setempat di dalam busway dan kareta api atau trem, menuju tempat tujuan masing-masing. Pada saat-saat tertentu kami harus berjalan bersicepat mengimbangi langkah-langkah orang-orang setempat yang sepertinya tidak pernah membiarkan waktu berjalan sia-sia.
Keseharian kami selama berada di Adelaide adalah keseharian yang penuh daya apresiatif. Seperti tidak ada hentinya kami mengagumi kecenderungan setiap orang yang selalu mencoba menghargai privasi masing-masing. Tidak ada istilah saling mengganggu, iseng, dan sebagainya. Jangankan penghargaan terhadap privasi manusia, bahkan privasi binatang pun mendapat tempat yang sama layaknya dengan manusia. Maka tidaklah mengherankan jika sewaktu-waktu satu atau dua orang berjalan-jalan menelusuri trotoar ditemani seekor anjing. Bahkan di tempat cuci mobil disediakan pula jasa cuci binatang peliharaan. Di tempat-tempat terbuka, di halaman rumah, di pepohonan, di sungai, atau di taman-taman kota yang banyak jumlahnya, didapatkan berbagai jenis unggas, seperti angsa, bebek, dan burung yang bebas hidup tanpa takut diganggu manusia. Artinya bahwa binatang pun memiliki hak hidup sesuai privasi yang dimilikinya.
          Glamour kota besar memang sangat terasa, terutama jika kita berada di tengah hirup pikuk orang-orang di pusat kota. Di sepanjang North Terrace, South Terrace, William King St., Taman Victoria, dan di hampir semua bagian kota, nuansa modern sangat akrab dengan semua yang hadir di sana. Namun, dengan penataan yang apik, Pemerintah Adelaide berhasil melebur suasana modern dengan suasana indignous (adat) yang mereka miliki. Penghormatan terhadap keberadaan suku Kaurna (yang konon berasal dari Makasar, Indonesia) diabadikan dengan membuat situs-situs berharga di antara bebangunan modern di sekitarnya. Perpaduan modern dan tradisional pun tampak pada sejumlah bangunan yang mempertahankan bentuk asli, menyiratkan bahwa mereka (orang Australia) adalah pecinta sejarah. Mereka tidak pernah menampik dari mana mereka berasal.
          Penghargaan privasi dirasakan pula oleh mereka yang hobi berolah raga mengendarai sepeda. Pada ruas-ruas jalan tertentu disediakan jalur kecil khusus bagi para pengendara sepeda tanpa risi oleh kendaraan lain di sepanjang jalur jalan itu. Di kereta api, train, atau busway, disediakan ruang kosong untuk para pengendara sepeda yang ingin naik kendaraan umum. Bagi para disabilities disediakan pelayanan khusus. Di trem, kereta api dan busway disediakan tempat duduk, dan bahkan bagi mereka disediakan tempat parkir yang memadai dan mudah diakses. Di sekolah pun disediakan tempat khusus untuk para disabilities sehingga mereka merasa betah dan nyaman berada di lingkungan orang-orang normal. Bukankah semua itu menjadi bukti bahwa privasi setiap orang sangatlah diperhatikan?
          Hidup adalah tatanan keteraturan yang harus dipertahankan dan terus dipelihara dari generasi ke generasi. Demikian mungkin prinsip hidup orang Australia. Bagaimana mereka terbiasa hidup teratur, pergi kerja, pulang kerja, pergi belajar, dan pulang belajar, dijalani menurut hitungan waktu yang sudah terjadwal. Satu menit saja terlena, maka akan ketinggalan kendaraan umum yang kelak membawa mereka ke tempat tujuan. Menghargai waktu adalah sangat vital. Meskipun demikian, tidak berarti mereka harus saling menyingkirkan satu sama lain. Mereka tergesa dalam koridor yang jelas, berdiri pada antrian yang baik. Tidak heran juga jika di sepanjang jalur jalan raya tidak ditemukan pengendara mobil saling menyalip atau mencuri jalan orang lain, atau membunyikan klakson hanya untuk memberi aba-aba agar mobil di depan minggir. Tidak ditemukan pula orang saling menghardik hanya karena haknya dilanggar orang lain, atau orang menggerutu karena terjebak macet.
          Kiranya tatanan hidup teratur seperti demikian tidak terjadi serta merta. Ada satu proses yang kemudian membuat orang Australia terikat akan satu aturan baku meskipun hakikat aturan itu tidak tertulis. Lebih-lebih jika aturan itu tertulis sesuai dengan undang-undang rujukan, seperti misalnya peraturan tidak merokok di tempat-tempat umum, seperti di halte, di dalam gedung ber-AC atau di dalam kendaraan umum. Mematuhi peraturan lebih mudah dibandingkan harus membayar denda kepada pemerintah federal. Artinya bahwa keterikatan mereka kepada aturan adalah hasil dari sebuah pemahaman yang matang. Kemudian pemahaman itu diterapkan melalui informasi yang jelas kepada generasi berikutnya, baik berupa contoh maupun pendidikan, sehingga sikap disiplin itu menjadi sebuah tatanan budaya.
          Faktor lain yang cukup mendukung kondusivitas hidup di Australia adalah jumlah penduduk yang tidak telalu padat. Bisa dipastikan bahwa satu kepala keluarga (KK) hanya dihuni maksimal oleh empat orang, sementara jumlah KK di dalam satu blok tidak lebih dari 10 rumah. Jumlah penduduk dengan tingkat kepadatan yang rendah ini mencerminkan keberhasilan upaya Pemerintah Australia dalam menekan jumlah penduduk. Dengan jumlah penduduk yang jarang seperti demikian, sangatlah mungkin memberikan informasi dan menanamkan disiplin  kepada generasi muda secara jelas dan berkesinambungan. Pun akhirnya berdampak pada terselenggaranya kebiasaan disiplin di dalam kehidupan sosial secara menyeluruh.
          Tertanamnya disiplin pada seluruh bagian masyarakat tidak terlepas dari manajemen penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sebagai sebuah pusat kebudayaan, sekolah menjadi sumber infomasi awal tentang tatanan kehidupan bermasyarakat di Australia. Dengan bekal pengetahuan dari sekolah, siswa mengaplikasinnya di dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Selain itu, kondusivitas yang sudah terjalin menjadi tauladan yang baik bagi generasi muda untuk kemudian dicontoh dalam menjalani kehidupan pribadinya. Sungguh sebuah nuansa yang terekat erat dan menjadi jalinan mata rantai yang tak pernah putus dari satu generasi ke generasi berikutnya.
          Membangun matarantai disiplin semacam itu bukanlah sebuah hal yang mudah, karena dibutuhkan komitmen yang kuat antar berbagai lapisan yang berkepentingan. Bukan hanya sekolah yang berperan menanamkan pemahaman awal, namun kemudian harus ada sinergitas dengan unsur-unsur lain yang terkait. Pihak Pemerintah memiliki peran melembagakan dan melegitimasi peraturan menjadi sebuah bentuk baku yang wajib ditaati warga. Selain itu, kebutuhan warga akan berbagai hal, pendidikan, pekerjaan, ekonomi, termasuk politik, harus dapat dipenuhi sesuai kapasitasnya, sehingga warga dengan sendirinya memandang Pemerintah sebagai sebuah lembaga berwibawa yang pantas dihormati. Pada bagian lain, warga menjadi subyek penting terselenggaranya berbagai peraturan dengan cara mentaatinya dengan penuh konsekuen. Tanpa sinergitas demikian, mustahil sebuah peraturan akan berjalan dengan baik, maka mustahil pula kondusivitas hidup terselenggara.
          Alur kehidupan yang tersaksikan selama mengikuti program pelatihan di Australia, bagi kami, adalah sebuah rangkaian pembelajaran yang amat berharga. Mengapa tidak kita mengambil hikmah dari contoh yang ada di Negeri Kanguru sana?
          Akan sangat sulit memang merubah kondisi Indonesia dengan jumlah penduduknya yang padat untuk bisa menyamai Adelaide. Kondisi Indonesia yang ada saat ini sudah sangat menyatu dengan hati dan karakter manusia Indonesia yang heterogen. Lebih-lebih dengan kondisi daratan yang terpisah-pisah, membangun komitmen menjadi sesuatu yang sangat sulit dilakukan.
          Akan tetapi, dalam batas yang sangat minimal, pengalaman menarik selama di Australia menjadi sebuah bekal berharga untuk diterapkan pada diri sendiri. Prinsip bahwa merubah sesuatu bisa dimulai dari hal-hal kecil dapat diterapkan. Misalnya, penanaman disiplin sederhana, seperti membuang sampah, antri, berkendaraan, itu hal-hal yang sangat mungkin dilakukan. Pemahaman kepada siswa di dalam kelas, selain juga perbaikan strategi mengajar (sebagaimana menjadi temuan selama menjalani program), dapat dilakukan dengan cerita, contoh, dan visualisasi. Adapun hal-hal yang menyangkut perubahan kebijakan, pemenuhan struktur dan infrastruktur yang secara langsung berhubungan kebijakan dan finansial diserahkan sepenuhnya kepada pihak Pemerintah.
          Akhirnya, mudah-mudahan catatan ini bermanfaat. Selamat berjuang, Guru Indonesia!

Majalengka, Juni 2012

Jumat, 26 Juli 2013

ALBUM FOTO SANGGAR SENI PANGHEGAR


















Senin, 22 Juli 2013

SAJAK-SAJAKKU

TAK KUTAHU LAGI


Tak kutahu lagi berapa lama aku dijerat waktu
Menjadi budak setiap kata pada setiap persinggahan
Bahkan hingga di sudut kamar yang sempit ini
Masih saja kucoba mencari ide-ide perlawanan
Kerapkali kubertemu dengan sebilah mata angin
Menerbangkanku hingga ufuk pagi tak menentu
Subuhku dirajam kegelapan semata

Lagi ku mencari-Mu di relief kulit ariku sendiri
Sambil jijik kubisikkan kebusukan hari esok
Setelah begitu tegar menghadapi bau apek hari kemarin
Dengan pesta-pesta seadanya, dengan arak dan serapah
Hingga tersisa di ujung sia-sia
Bentukku makin redup di ujung Subuh-Mu

Jika waktu-Mu adalah jadwal kehidupan
Mengapa aku masih diberi rupa?

2008





GERIMIS DI KOTA CIAMIS

Trotoar ini, telah kutandai sejak siang tadi
Agar kelak mengajakku menimba napas
Merangkum sore menjadi kenangan
Hingga lumat jalan ini pada malam nanti

Kenyataan terkadang sukar ditebak
Kehendak Tuhan-kah ketika setitik air jatuh
Kemudian disusul dengan titik-titik air lainnya
Menjadikan segala menjadi kuyup

Kuyup pulalah harapan jadinya
Seperti dinding kamar yang lembab
Merenungi sepi sepanjang malam
Atap adalah angka-angka waktu bergulir pelan

Kuyup pulalah luapan hatinya
Ketika tak sedetik pun sempat berucap
Padahal sempat diucapkannya janji
“Temui aku di gerbang depan hotel...!”

Kuyup pulalah gerimis hingga pagi
Sampai tak nampak lagi keriangan
Karena hati tak tergoyahkan lagi
“Sudahlah, besok mungkin masih tersisa janji...!”

2010




HARI INI

Masih juga aku merasa resah
Ketika kudapatkan sisa-sisa hari kemarin
Meski sudah kurubah tema perjalanan hari ini

Adalah sepenggal harap yang tak tuntas
Kuselesaikan menjadi sajak
Atau ungkapan lain yang sejenis

Misalnya tentang kepenatan
Dalam hitungan jari
Kemudian lenyap di ujung paling barat matahari

Setidaknya aku akan tahu
Bahwa kalimat pun dapat selesai
Pada tepi sebuah titik

Padahal pada titik itu sendiri
Masih tersisa celah-celah untuk bercermin
Merekam jejak masa lalu

Atau mengintip jejak berikutnya
Maka sengaja pula kusisakan harap
Untuk hari esok

(Sebab esok aku masih berharap ada...!)


2010