SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

Jumat, 03 Februari 2017

PELAJARAN DARI KEBERSAMAAN

Sahabat, aku hanya sekedar ingin berbagai rasa. Ketika keharuan muncul saat opening Pameran Seni Rupa bertema “Looking For Step” di Majalengka, hanya rasa yang kemudian mengantarkan aku ke ranah kebahagiaan hakiki. Padahal, sejak awal aku tidak pernah merasa pasti bahwa istilah “cinta” dapat dipercaya. Kini aku percaya. Keywordnya adalah “kebersamaan”. Lain tidak.

Mengintip Hidup, lukisan di atas kanvas, karya Eded Harto, Majalengka
Aku hadir di sini bak segugus nyawa mencari tubuh yang utuh. Bahkan aku hidup di ranah yang berbeda dengan peminatan awal yang berbeda pula. Aku datang dari keluaga berstandar tradisional, karena sejak kecil kiliningan adalah makanan mata dan telingaku. Sandiwara Sunda yang dilakoni bapakku dahulu adalah santapan ketika aku harus terpaksa tidur di bawah panggung. Maka aku terbentuk dari dunia tradisi yang melembaga menjadi rasa dan jiwa. Menghantar aku menapaki usia dewasa, menatap luas dunia. Menatap luas dunia!

Kesadaran membangunkanku. Ruang dan waktu memberiku kesempatan mengenali apa arti kehidupan, meski dengan langkah tertatih-tatih dan tak kunjung menemukan arah pasti. Dunia seniku sebatas yang sempat aku baca, khasanah budaya hanya sekedar apa yang pernah aku lihat, sementara aku berada dalam belenggu rutinitas dalam posisiku sebagai pegawai pemerintah rendahan.

Hegar Parangina, anakku, hidup seru di dunia karawitan Sunda
Uang, Lukisan di atas kanvas, karya Eded Harto, Majalengka
Tidak banyak yang aku tahu, kecuali pergerakan-pergerakan kecil yang melintas bebas di depan mataku. Namun itu pun hanya sedikit saja memberi pengalaman. O, betapa banyak yang harus aku dapat. Betapa banyak yang kurasa aku masih gelap gulita.Ternyata aku masih butuh banyak waktu untuk menemukan bentuk. Aku belum menjadi apa-apa dibanding kalian yang lebih dahulu bergerak di depanku atau kalian yang diam-diam bergerak di belakangku.

Kesadaran membangunkanku. Di sini, ruang memberi nyawa lebih banyak. Tawa renyah lebih menyiratkan kebahagiaan abadi ketimbang berdiri di belakang dengan laku “seolah-olah”. Maka aku gauli kalian seperti kalian adalah pacarku selamanya. Maka raihlah pula tanganku, dan kuraih tanganmu. Jabat erat ini untuk tetap bergandengan. Tidak hanya berdua, namun bertiga, berempat, dan lebih banyak lagi. Dalam kurun waktu sebentar saja kenikmatan datang menyentuh labirin rasaku. Cinta pun rekah menjadi aroma kebersamaan abadi. Kuncinya hanya sekedar menerima apa adanya. Tidak berdiri dalam keangkuhan semata. Kita sama, Bung, demikian seorang dari kalian berkata. Dan aku satuju.


Bahwa hakikat hidup adalah saling menitipkan diri. Aku butuh kau, kau butuh aku. Aku butuh mereka, mereka butuh aku. Kalian butuh mereka, mereka juga butuh kalian. Saling silang. Saling melengkapi. Dan makna pun terjadi. Hakikat itu menjelma menjadi nyata di depan mataku sendiri, di sini, di arena pentas dengan alunan kolaborasi rasa yang padu. Aku yang datang dari ranah antah berantah, luruh dalam sapuan kuas para perupa yang perkasa. Pengakuanpun muncul tiba-tiba, ternyata : indah pula yang namanya kebersamaan!***