Senin, 08 Agustus 2011

ASAL-USUL MAJALENGKA

(Sebuah Catatan Nonsejarah)


I.           Pendahuluan
Majalengka adalah sebuah wilayah kabupaten yang terletak di Jawa Barat, berada pada ketinggian kurang lebih 150 m di atas permukaan laut. Berbatasan dengan wilayah kabupaten Cirebon dan Kuningan di sebelah Timur, dengan Ciamis di sebelah Selatan, dengan Kabupaten Sumedang di wilayah Barat, dan dengan Kabupaten Subang dan Indramayu di sebelah Utara.
Matapencaharian penduduk Majalengka terutama adalah bertani dan buruh. Kemudian berkembang matapencaharian lain seperti berdagang, pekerja pemberi jasa, dan lain-lain.
Bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda. Namun karena mendapat pengaruh yang kuat dari Indramayu dan Cirebon, maka di beberapa wilayah yang berbatasan langsung dengan daerah-daerah itu, sebagian masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa Cirebon, misalnya di Sumberjaya, Parapatan, Jatiwangi, Ligung, dan Jatitujuh.
Di Majalengka juga berkembang kesenian khas Majalengkaan seperti kuda renggong, sampyong, gaok. Di samping itu berkembang pula kesenian lain sebagai pengaruh budaya Parahiangan, seperti degung, kecapi suling, jaipongan, reog, wayang golek, calung, dan lain-lain. Kesenian yang tampak sebagai pengaruh dari Cirebon (Jawa) adalah wayang kulit dan tari topeng.  Kesenian yang disebut terakhir justru memiliki ciri tersendiri sebagai topeng Majalengkaan, seperti tari roping yang berkembang di Beber, Ligung.
Dari uraian di atas, tampaklah bahwa perkembangan bahasa dan perkembangan kesenian merupakan perpaduan budaya Cirebon dan budaya Parahiangan. Keduanya singgah di Majalengka dan menjadi kebudayaan yang berkembangan di Majalengka. Perpaduan demikian tidak dapat dilepaskan dari faktor kesejarahan di wilayah Majalengka yang erat kaitannya dengan Cirebon dan Parahiangan. Di dalam sejarah Majalengka disebutkan, bahwa Nyi Rambutkasih yang berkuasa di Sindangkasuh (nama sebelum Majalengka) adalah keturunan Pajajaran, artinya ia seoranga keturunan Parahiangan. Dalam perkembangannya mendapat pengaruh dari Cirebon, yakni dengan datangnya Pangeran Muhammad sebagai utusan Sunan Gunung Jati yang berkuasa di Cirebon. Kedatangan orang-orang Cirebon di Majalengka tentu daja sedikit banyak memberikan warna terhadap perkembangan budaya di Majalengka.
Berikut akan diuraikan asal-usul Majalengka yang memberikan gambaran tentang masuknya pengaruh Cirebon di Majalengka. Namun sebelunya perlu dipahami, bahwa uraian tentang asal usul Majalengka, hingga saat ini baru berdasar pada tradisi lisan yang berkembang di masyarakat. Belum ditemukan sumber rtertulis yang dapat dijadikan pegangan kuat tentang bagaimana Majalengka dapat berdiri. Baru-baru ini kita memperingati Hari Jadi Majalengka yang ke-517, dengan ketetapan peringatannya setiap tanggal 7 Juni. Bagaimanapun, kita patut menghormati jerih payah para Bapak kita dahulu yang telah mencoba menentukan hari jadi Majalengka, walaupun masih perlu dikaji kebenarannya.
II.        Asal Usul Majalengka
Pada abad ke-14 ada sebuah kerajaan bernama Sindangkasih. Kerajaan ini dipimpin oleh seorang ratu bernama Nyi Rambutkasih. Ia seorang ratu yang adil dan bijksana . Nyi Rambutkasih adalah putra dari Ki Gedeng Sindangkasih, masih kerabat dekat dengan Prabu Siliwangi dari Pajajaran. Agama yang dianut rakyat Sindangkasih pada waktu itu adalah agama Hindu. Nyi Rambutkasih selalu mengajak rakyatnya menjalankan ibadah agama Hindu dengan taat.
Matapencaharian masyarakat Sindangkasih pada waktu itu adalah bertani. Namun untuk kelestarian lingkungan, di wilayah ini ditanam berbagai pohon, yang salah satu di antaranya bernama pohon maja. Pohon ini selain sebagai tanaman hias, batangnya dapat dimanfaatkan untuk mengobati berbagai penyakit. Karena itu, Nyi Rambutkasih memerintahkan rakyatnya untuk menanam pohon ini sebanyak-banyaknya, karena khasiat dan kegunaannya sudah terbukti.
Pada waktu yang bersamaan, di wilayah Karajaan Islam Cirebon sedang terjadi wabah penyakit. Hampir setiap hari terdapat orang yang meninggal. Melihat keadaan demikian, Sunan Gunung Djati yang menjadi raja di Cirebon, merasa sangat prihatin. Ia kemudian mengumpulkan abdi-abdi negara untuk membicarakan musibah yang sedang terjadi. Tabib-tabib pun diundang untuk dimintai pendapatnya mengenai kejadian itu. Dari para tabib didapat kabar, bahwa penyakit yang merajalela itu hanya dapat disembuhkan dengan ramuan yang diolah dari pohon maja.
“Di mana kira-kira pohon maja itu adanya?” demikian pertanyaan Sunan Gunung Djati.
Salah seorang peserta rembugan mengacungkan tangan, menjawab : “Hamba tahu, Kanjeng Gusti. Pohon maja dapat kita temukan di sebelah barat. Di wilayah perbatasan Karajaan Sumedanglarang.”
Maka diutuslah segera Pangeran Muhammad bersama istrinya Siti Armilah untuk pergi ke perbatasan Sumedanglarang, yaitu di wilayah karajaan Sindangkasih, untuk mencari pohon maja yang konon rasanya pahit sekali. Para tabib tahu, pohon maja dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit.
Pangeran Muhammad, putra dari Pangeran Palakaran, pergi bersama istrinya ke wilayah barat. Di tapal batas Sindangkasih, mereka bertemu dengan dua orang jagasatru (penjaga perbatasan). Para jagasatru itu bertanya, apa maksud kedatangan Pangeran Muhammad dan Siti Armillah. Pada saat itu, Pangeran Muhammad tidak mengatakan yang sebenarnya, ia hanya meminta agar ia dipertemukan dengan Ratu Nyi Rambutkasih.
Para jagasatru itu kemudian pergi menemui Nyi Rambutkasih.
“Ampun, Nyi Ratu, kita kedatangan tamu dari Cirebon. Bolehkah kami mengizinkannya masuk?” tanya kedua jagasatru itu.
“Persilakan masuk.”
Pangeran Muhammad dan Siti Armillah pun menemui Nyi Rambutkasih.
“Apa maksud kedatangan kalian ke sini?”
“Ampun, Nyi Ratu. Kami berdua datang ke sini dengan dua maksud.”
“Sebutkan maksud yang pertama.”
“Maksud yang pertama adalah mencari pohon maja untuk bahan ramuan obat penyakit yang menggejala di daerah kami di Cirebon.”
“Maksud yang kedua?”
“Maksud yang kedua adalah mengajakmu dan rakyatmu untuk memeluk agama Islam.”
Mendengar jawaban Pangeran Muhammad seperti itu Nyi Rambutkasih terdiam sejenak, kemudian berkata dengan penuh bijaksana.
“Ki sanak, maksud kalian untuk menjadikan aku dan rakyatku menganut agama Islam, sebenarnya tidak bisa aku tolak. Akan tetapi, aku sendiri tidak bisa menganut agama Islam, karena Hindu adalah agama leluhurku. Tidak mungkin aku menghianati keramat luluhurku.”
“Bagaimana dengan rakyatmu?”
“Aku menyerahkan hal itu kepada kehendak mereka sendiri. Bagi mereka yang ingin ikut denganku, ikutlah! Akan tetapi bagi mereka yang ingin berpindah dan menganut agama Islam, silakan!”
“Terus, bagaimana tentang pohon maja itu?”
“Karena kalian datang ke sini tidak murni untuk mencari obat, akan tetapi diembel-embeli dengan mengajarkan agama Islam, maka aku tidak mengijinkan pohon majaku kalian ambil.”
“Kasihanilah kami, Nyi Ratu!”
“Rasa belas kasihan itu hanya ada pada Tuhan yang kalian anut. Aku sendiri tidak!”
Bersamaan dengan itu, menghilanglah raga Nyi Rambutkasih dan beberapa orang rakyatnya yang setia menganut agama leluhurnya. Dina saat itu pula, menghilanglah pohon maja yang dicari Pangeran Muhammad dan Siti Armillah.
Melihat keadaan demikian, maka berteriaklah Muhammad di hadapan orang-orang Sindangkasih yang tidak ikut menghilang bersama Nyi Rambutkasih : “Madya langka!”
Dijawab oleh rakyat yang waktu itu juga masuk agama Islam : “Madya Langka!”
“Madya langka!”
“Majalengka!”
Maka sejak sebutan madya langka berubah menjadi majalengka maka kejayaan Sindangkasih pun berakhir. Berdirilah karajaan Majalengka, yang dipimpin langsung oleh rajanya yang pertama : Pangeran Muhammad!
Konon, Pangeran Muhammad pada waktu meninggalnya dimakamkan di Gunung Margatapa, sedangkan Siti Armillah makamnya dapat ditemukan di halaman belakang pendopo Kabupaten Majalengka, yang dikenal dengan sebutan Embah Badori.


III.     Penutup
Demikianlah asal-usul Majalengka, yang selanjutnya dapat saja dijadikan pedoman oleh masyarakat sebagai sumber dongeng lisan. Selebihnya adalah tanggung jawab kita semua sebagai generasi muda untuk selalu terus menggali sumber-sumber lain yang lebih kuat.
Insya Allah!

0 komentar:

Posting Komentar