Minggu, 28 Februari 2016

KESENIAN SAMPYONG MAJALENGKA

Berawal dari munculnya sebuah permainan yang dinamakan ujungan, yaitu permainan anak-anak gembala di daerah Cibodas, sebuah désa di Majaléngka bagian Selatan. Sambil menggembalakan ternaknya, mereka melakukan sebuah permainan saling memukul dengan menggunakan seutas tongkat pemukul.
                Permainan ujungan kemudian berkembang menjadi permainan orang dewasa, dan untuk menghindari luka di bagian kepala, digunakan teregos semacam helm pengaman pada permainan tinju amatir. Pengaman  bagian kepala itu dinamakan balakutak. Pemain wajib menggunakan pengaman karena pukulan diarahkan ke seluruh bagian tubuh, termasuk kepala.
                Permainan ujungan yang pukulannya diarahkan ke seluruh bagian tubuh ini kemudian dianggap sangat berbahaya. Pada waktu itu mémang banyak sekali korban akibat pukulan yang membabi buta. Orang yang tidak punya cukup kesaktian dan kekuatan, akan dibuat pingsan karenanya. Oleh karena itu, para tokoh permainan ujungan mencoba membuat penyederhanaan dan membuat peraturan permainan.
          

Muncullah kemudian permainan yang disebut sampyong, yakni sebuah permainan ‘penyederhanaan’ dari permainan ujungan. Kini bentuknya bukan lagi sebuah permainan, namun lebih menyerupai seni pertunjukan karena selama permainan berlangsung diiringi musik kendang pencak. Para pemainnya mempertunjukkan jurus-jurus pencak silat dan memamerkan kebolehannya dalam ibing pencak.
                Adapun peraturan permainan yang ditetapkan adalah :
1.       Seorang pemain hanya diperkenankan memukul sebanyak tiga kali.
2.       Sasaran pukulan hanya sebatas kaki bagian bawah, atau betis bagian belakang,
3.       Pemain diperkenankan main sesuai dengan kelas yang dimilikinya, misalnya tua atau muda, dsb.
                Kata sampyong berasal dari kata sam dan pyong (Bhs. Cina) artinya memukul tiga kali. Artinya pemain diizinkan memukul sebanyak tiga kali pukulan.
                Pada praktiknya kesenian sampyong dipimpin oleh seorang malandang yang berdiri selaku wasit dan mengatur jalannya permainan. Selama memimpin pertandingan, malandang melakukan gerak-gerak ibing pencak silat, dan memberikan aba-aba “Biluuuk!” kepada para pemain. Jika mendengar kata biluk diteriakkan, maka pemain siap memukul dan siap pula dipukul, sesuai dengan giliran masing-masing.

Waditra pengiring sampyong adalah seperangkat gamelan pencak silat, terdiri atas dua set gendang, kulanter, kempul, dan terompet sebagai alat musik melodisnya.
                Sebagai sebuah seni pertunjukan, sampyong sering dihidangkan untuk menghibur dalam acara-acara tertentu. Pada tahun 1970-an sampyong dihidangkan dalam acara hajatan, namun lebih sering dipertunjukkan pada acara seremonial tertentu.
                Tatacara pertunjukannya adalah sebagai berikut :
1.       Seluruh  peserta memasuki arena, dipimpin oleh seorang wasit (malandang), melakukan penghormatan kepada penonton dengan iringan lagu Golempang.
2.       Pertunjukan eksibisi, dimainkan oleh dua orang tokoh sampyong, sebagai pertunjukan pembuka.
3.       Pertunjukan utama, pemain saling berhadapan menurut gilirannya masing-masing.

Tokoh-tokoh sampyong yang berjasa mengem-bangkan sampyong sebagai kesenian asli Majaléngka adalah Abah Sanen, Abah lewo, Mang Kiyun, Mang Karta, K. Almawi, Baron, Toto, Komar, Anah, Emin, dan masih banyak lagi yang lainnya. Kelompok Sampyong Mekar Padesan pimpinan K. Almawi pernah main di Taman Mini Indonesia Indah, Taman Budaya Bandung, dan di Bali.
               Sampyong sebagai kesenian tradisional tersebar di beberapa wilayah, antara lain di Simpeureum, Cigasong, Cibodas, Kulur, Sindangkasih, Cijati, Jatipamor, Pasirmuncang, dan beberapa daerah lain.
                Upaya pembinaan perlu dilakukan dengan cara regenerasi, agar kesenian sampyong tetap eksis meramaikan khasanah kesenian tradisional di Majaléngka.

0 komentar:

Posting Komentar