Pengantar
Pembangunan pada
dasarnya adalah proses perubahan yang berkesinambungan ke arah kemajuan dan
perbaikan sebagai tujuan yang dikehendaki bersama. Proses perubahan diarahkan
untuk menciptakan kesejahteraan semua lapisan masyarakat. Dalam konteks ini,
sudah menjadi kewajaran jika ada tuntutan untuk menumbuhkan peran partisipatif
masyarakat dalam berbagai sektor pembangunan. Pemikiran seperti ini tidak lepas
dari tuntutan dinamika pertumbuhan sosio-kultural yang ada. Sebab, dalam
suasana persaingan global, masyarakat mesti lebih kreatif melakukan
pemberdayaan-diri agar tidak digerus perkembangan kehidupan kontemporer.
Namun demikian,
kenyataan empirik dalam kehidupan sosial-politik belum menunjukkan iklim yang
dinamis bagi cita-ideal tersebut di atas. Peran partisipatif masyarakat yang
tersalurkan lewat musyawarah di tingkat lokal kerapkali tercampakkan di tingkat
politis dan legislasi. Pemerataan pembangunan dan keadilan sosial belum sepenuhnya dirasakan masyarakat secara menyeluruh. Lebih dari itu,
masyarakat pun
belum sepenuhnya berdaya
dalam mengikuti dinamika kehidupan kontemporer yang ada.
Kondisi
tersebut seyogyanya direspon oleh Pemerintah Pusat dengan menggulirkan program yang lebih mengena. Selama ini Pemerintah memang pernah menggulirkan program PNPM hingga PNPM yang paling mutakhir yaitu PNPM Mandiri Pedesaan. Tujuannya tidak lain
dalam rangka mendorong percepatan
keberdayaan masyarakat dalam perubahan sosial dan pemerataan hak-hak
partisipatif masyarakat terhadap semua akses pembangunan, mulai dari hulu sampai ke
hilir.
Program
pembangunan, agar mendapat apresiasi positif dari banyak kalangan harus mencerminkan beberapa keunggulan, seperti :
1.
Meningkatnya
kemampuan masyarakat dan pemerintah desa dalam pengelolaan pembangunan di daerah;
2.
Adanya
partisipasi dan swadaya masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan
yang cukup tinggi;
3.
Hasil
dan dampaknya cukup nyata, khususnya dalam penanggulangan kemiskinan;
4.
Pembiayaan
pelaksanaan pembangunan relatif lebih murah dan dilaksanakan secara
swakelola; dan,
5.
Transparansi
dan akuntabilitas dalam pengelolaan kegiatan dan pengambilan keputusan cukup luat.
Namun demikian, program pembangunan yang bergulir tersebut ternyata masih menyisakan sejumlah kelemahan, yakni:
1.
Adanya ekslusivitas proyek lewat
penggunaan prosedur kerja yang bersifat khusus. Kelemahan ini berdampak pada
kurangnya keterpaduan dan keselarasan dengan program reguler yang sejenis;
2.
Karakter proyek bersifat ad hoc (sementara) sehingga kurang sustainable;
3.
Partisipasi dan pelembagaan
masyarakat masih cenderung mobilized,
bukan akibat kesadaran reflektif-kritis masyarakat secara utuh;
4.
Penyediaan tenaga bantuan teknis
cenderung melahirkan ketergantungan kepada pihak eksternal, sehingga mengurangi
nilai kemandirian dan kreativitas masyarakat; serta,
5.
Penguatan kapasitas masyarakat
tidak diimbangi dengan penguatan kapasitas pemerintahan lokal.
Analisis atas kelemahan tersebut, pada gilirannya mengundang kebutuhan untuk menyusun
rancangan program yang diorientasikan pada keterpaduan antara pemberdayaan
sumberdaya manusia secara makro dengan perkembangan kehidupan kontemporer
secara praksis. Secara
bersamaan, program yang dirancang hendaknya mampu membuka ruang publik yang lebih
luas bagi peran partisipatoris masyarakat dalam berbagai dimensi kehidupan dan pembangunan. Selain itu, program ini pun dirancang untuk lebih mnumbuhkembangkan kemengertian dan kesadaran
beragam komponen masyarakat untuk tumbuh bersama, baik secara sosial, budaya
maupun ekonomi dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sementara
itu, perkembangan masyarakat yang sangat dinamis sebagai akibat
globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi ternyata membutuhkan penyesuaian tata nilai dan perilaku. Dalam konteks ini, rancangan program tersebut perlu menempatkan aspek pengembangan kebudayaan yang dapat memberikan arah bagi perwujudan identitas nasional
yang sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa sehingga mampu menciptakan iklim kondusif dan
harmonis bagi penguatan nilai-nilai
kearifan lokal. Pada gilirannya, nilai-nilai kearifan lokal inilah yang akan merespon modernisasi dengan positif dan produktif
sejalan dengan nilai-nilai kebangsaan sekaligus
mendorong keberdayaan masyarakat dalam mengadopsi budaya global yang lebih relevan bagi upaya percepatan pembangunan.
Untuk merealisasikan gagasan tersebut, dipandang perlu
mengintegrasikan program-progam pembangunan dengan progran-program
reguler di tingkat lokal melalui dukungan regulasi yang relevan dari pemerintah
kabupaten. Dengan demikian, program-program pemberdayaan yang bersifat
partisipatif dapat terlembaga secara reguler dan sustainable (berkelanjutan) sebagai bagian dari perencanaan
pembangunan daerah.
Program Sabilulungan
adalah program yang di dalamnya terdapat proses adopsi terhadap
keunggulan-keunggulan lokal dan nilai-nilai budaya dan
kearifan lokal yang yang terangkum dalam filosofi “Sindangkasih Sugih Mukti,
Majalengka Bagja Raharja” dan visi pembangunan Kabupaten Majalengka: Religius,
Maju dan Sejahtera (REMAJA)”. Berikut sekedar masukan (bahan pemikiran) mengenai nilai filosofis pembangunan Kabupaten Majalengka, yang kemudian dapat dijadikan dasar penyusunan program.
1.
Nilai
Filosofis
Merunut
nilai filosofis Pembangunan Kabupaten Majalengka, terkait erat dengan nilai
historis Majalengka yang bermula dari nama kerajaan Sindangkasih yang selama
beberapa dekade dipimpin oleh seorang Ratu bernama Nyi Rambutkasih.
Sindangkasih merupakan wilayah yang sugih
mukti (subur makmur) dan rakyat yang bagja
raharja (bahagia). Konteks kemakmuran yang dicapai pada masa keratuan Nyi
Rambutkasih ini menjadi inspirasi munculnya sangkakala
Sindangkasih Sugih Mukti Majalengka Bagja Raharja yang kemudian menjadi nilai
filosofis pembangunan partisipatif Kabupaten Majalengka dari masa ke masa.
Sindangkasih, jika diurai memiliki dua makna
kata yang menginspirasi hadirnya sebuah bentangan wilayah yang layak sebagai
tempat sindang (singgah) dan
mengekalkan kasih (cinta).
Sindangkasih – kini nama wilayah kelurahan di Kecamatan Majalengka – merupakan
tempat singgah yang penuh cinta. Melalui cinta kasih ditemukan kedamaian, dan
kedamaian adalah modal dasar tumbuhnya rasa kebersamaan guna mewujudkan
partisipatif masyarakat dalam kegiatan pembangunan.
Sugih berarti subur, ditandai dengan terbentangnya areal
tanah pertanian, perkebunan dan kehutanan yang luas. Tanah Majalengka adalah
tanah yang memiliki kadar welcome
cukup tinggi untuk berbagai jenis tumbuhan. Ini merupakan aset penting untuk
mencukupi kebutuhan ekonomi masyarakat melalui kegiatan pertanian, perkebunan
dan pemanfaatan lahan hutan.
Mukti bermakna makmur, ditandai dengan kelayakan hidup yang
dicapai masyarakat melalui pencapai rata-rata IPM pada batas optimal yang
diharapkan. Ini merupakan moedal dasar guna menumbuhkembangkan sektor
ekonomi kerakyatan berbasis pertanian.
Bagja raharja, memiliki makna bahagia. Kini dapat
diinterpretasikan kepada suasana bahagia yang dicapai masyarakat akibat dari
upaya-upaya pembangunan yang ditempuh.
Bagja raharja merupakan titik kulminasi yang ditandai dengan tercapainya
kehidupan yang serba layak dengan prosentase keluarga sejahtera yang tinggi.
Setidaknya, bagja raharja menjadi tujuan utama program pembangunan sabilulungan.
2. Nilai Manajerial
Nilai
manajerial terkait dengan visi Kabupaten Majalengka Remaja (religius, maju, dan
sejahtera).
Religius : Mengandung makna bahwa masyarakat Kabupaten
Majalengka dapat meningkatkan pemahaman ajaran agama dan pengamalan agamanya dalam
tatanan kehidupan masyarakat.
Maju: Mengandung makna terwujudnya Kabupaten Majalengka
yang lebih baik dengan meningkatnya sumber daya manusia yang berkualitas,
keadaan sosial ekonomi masyarakat yang stabil, yang ditandai dengan
berkurangnya tingkat kemiskinan dan pengangguran serta ditopang oleh
transformasi birokrasi secara bertahap.
Sejahtera : Mengandung makna suatu keadaan masyarakat Kabupaten Majalengka dapat meningkatkan pemenuhan kebutuhan dasarnya yang ditandai dengan peningkatan derajat kesehatan, pemenuhan pendidikan dasar dan peningkatan daya beli dalam kondisi masyarakat yang aman dan tentram.
Dalam
mewujudkan visi di atas, telah ditetapkan Strategi Gerakan Membangun Masyarakat
Religius, Maju dan Sejahtera (Gerbang
Mas Remaja) yang ditempuh melalui 4 pilar strategi prioritas pembangunan,
yaitu :
1)
Gerakan Pembangunan Masyarakat Cerdas, Sehat, Beragama
dan Berbudaya (Gerbang Cahaya)
2)
Gerakan Pembangunan Ekonomi Masyarakat (Gerbang Emas)
3)
Gerakan Pembangunan Pembangunan Pengentasan Kemiskinan
Berbasis Kecamatan dan Desa (Gerbang
Kencana), dan
4)
Gerakan Pembangunan Pertumbuhan Modal dan Investasi (Gerbang Permata)
Visi dan keempat pilar utama di atas menjadi pedoman sekaligus nilai manajerial yang dipegang teguh oleh para pemangku kepentingan, sebagai pola pikir mendasar dalam melaksanakan proses mulai dari fase perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, sampai dengan fase pengawasan dan pertanggungjawaban, menuju tercapainya masyarakat Kabupaten Majalengka yang religius, maju dan sejahtera (REMAJA).
Nilai-nilai
yang terkandung dalam pembangunan Sabilulungan merupakan manifestasi dari Sapta Mandala Panta-panta (Tujuh Wilayah
Sakral Berjenjang) sebagai integrasi filosofis manajerial. Mandala adalah
wilayah, yang pamkanaannya tidak hanya merujuk kepada suatu wilayah teritorial
dengan batas-batas demografis dan birokratis, namun juga dimaknai sebagai
wilayah pikir atau wilayah konsep. Ketujuh mandala itu adalah :
1)
Mandala
Kahiyangan
Mandala kahiyangan hakikatnya adalah
manifestasi aura Ketuhanan yang terkandung dalam visi pertama Kabupaten
Majalengka, yaitu mewujudkan masyarakat yang religius. Sebuah kekuatan Allah SWT sebagai Khalik yang seyogyanya
menjadi satu-satunya pusat sepiritualitas, di mana semua orang menggantungkan
harapan dan do’a. Tuhan akan berkenan mengabulkan permintaan dan do’a setiap
makhluk-Nya manakala dilengkapi dengan niat yang tulus dan baik. Program
Sabilulungan merupakan niatan baik yang insya Allah terwujud dan dapat
dinikmati masyarakat kabupaten Majalengka pada saatnya kelak. Mandala
Kahiyangan menjadi pijakan sebelum fase berikutnya dimulai, karena hanya Allah
SWT yang – pada kahirnya – menentukan terwujudnya sebuah program, apa pun
bentuknya.
2)
Mandala
Kahayangan
Di dalam teori manajemen, fase
kahayangan merupakan fase perencanaan, yang berarti juga pernyataan kahayang
(keinginan) yang dituangkan dalam sejumlah rencana terpadu. Pada tataran ini
manajer membuat perencanaan, yakni penetapan sasaran serta cara mencapainya,
karena itu langkah pertama dalam proses perencanaan adalah merumuskan sasaran
yang ingin di capai. Perencanaan (planning), hakikatnya merupakan pemilihan yang berhubungan
dengan kenyataan-kenyataan, membuat dan
menggunakan asumsi-asumsi yang berhubungan dengan waktu yang akan datang dalam
menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan dengan penuh
keyakinan untuk tercapainya hasil yang dikehendaki.
3)
Mandala
Paniatan
Mandala paniatan berhubungan dengan
fungsi pengorganisasian, yakni fase penetapan niat dan kehendak yang melalui
pengukuhan organisasi. Pengorganisasian adalah upaya mengorganisasikan sumber
daya manusia dan sumber-sumber daya lain yang dimiliki organisasi. Proses
pengorganisasian mencakup; pengalokasian sumber daya, penyusunan jadwal kerja,
dan koordinasi antar unit dalam organisasi. Pengorganisasi berhubungan dengan
pengaturan struktur melalui penentuan kegiatan untuk mencapai tujuan.
4)
Mandala
Patarekahan
Mandala
patarekahan merupakan nilai-nilai kearifan lokal yang mengarah kepada fungsi
penggerakan (actuating) dalam teori
manajerial. Penggerakan meliputi pemberian motivasi,
komunikasi, dan koordinasi. Hal ini penting dilakukan mengingat program
sabilulungan adalah program krusial yang seyogyanya digerakkan melalui motivasi
yang jelas, dikomunikasikan ke berbagai unsur terkait, dan dikoordinasikan ke
beberapa pihak yang berhubungan baik langsung maupun tidak langsung terhadap
program Sabilulungan.
5)
Mandala
Pagelaran
Mandala
pagelaran adalah nilai kultural berikutnya yang mengarah kepada fungsi
pengawasan dalam manajemen. Pengawasan dilakukan guna mengecek dan membandingkan
hasil yang dicapai dengan standar atau target yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam hal ini, pengawasan atau pengendalian didefinisikan sebagai proses penentuan, apa yang
harus dicapai, yaitu standar apa yang sedang disaratkan dalam melaksanakan
pekerjaan, menilai pelaksanaan dan apabila perlu melakukan perbaikan-perbaikan,
sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standard.
6)
Mandala
Patembongan
Mandala patembongan merupakan nilai
kultural yang merujuk kepada pertanggungjawaban. Suatu pekerjaan dianggap
selesai dan memiliki legalitas tinggi bila dapat dipertanggungjawabkan dengan
baik. Program Sabilulungan merupakan seperangkat rencana pembangunan yang
melibatkan kualitas swadaya masyarakat yang kelak memiliki legalitas yang dapat
dipertanggungjawabkan.
7)
Mandala
Pangantenan
Mandala pangantenan adalah nilai
kultural yang merujuk kepada hasil yang dapat dinikmati oleh semua unsur dan
lapisan masyarakat. Ibarat pengantin, program sabilulungan menjadi bukti
rangkaian cinta kasih yang diwujudkan melalui kerja sabilulungan, gotong
royong, sekaligus pengejawantahan partisipatif masyarakat.
3. Nilai Operasional
Nilai
oprasional program ini tercermin dalam rangkaian kata-kata :
- Sauyunan, memiliki arti seia sekata, sebuah komitmen untuk melakukan melaksanakan program kerja dan mencapai tujuan bersama.
- Sauyunan, memiliki arti seia sekata, sebuah komitmen untuk melakukan melaksanakan program kerja dan mencapai tujuan bersama.
-
Babarengan,
memiliki arti bersama-sama melaksanakan pekerjaan atau gotong royong, yang
merupakan karakter asli bangsa Indonesia. Suatu pekerjaan besar akan terasa
menjadi ringan dan dapat diselesaikan dalam waktu relatif singkat ketika
dikerjakan secara gotong royong. Pada masyarakat pedesaan sifat ini masih
kental dan menjadi ikon tersendiri.
-
Ilubiung,
memiliki arti turut serta dalam kegiatan pelaksanaan program atau partisipatif.
Ini erat kaitannya dengan gotong royong yang para praktiknya merupakan bentuk
partisipatif masyarakat dalam rangka mendukung program yang digulirkan.
-
Ngaluluguan,
memiliki makna menjadi pionir, menjadi yang pertama mengerjakan sesuatu,
teladan yang memberikan makna mendalam bagi para penerus program berikutnya.
-
Pangwangunan,
hakikinya merupakan tujuan utama program, yang pada praktinya nanti memutuhkan
partisipasi masyarakat yang termotivasi dan terkoordinasi secara matang.