PENGANTAR
Sandiwara Sunda di Majaléngka berkembang sejak awal tahun 1930-an. Seni pertunjukan berbentuk teater ini digemari oleh semua lapisan masyarakat pada waktu itu.
Beberapa perkumpulan atau grup
kesenian sandiwara Sunda pernah berdiri, antara lain di
Jatiwangi (Mirah Delima, Medal Kawangi, Kutawaringin), Majaléngka
(Budaya Sunda), Dawuan (Gaya Remaja). Di Darmalarang, Malongpong, Munjul, dan Karayunan pun pernah
pula berdiri beberapa kelompok sandiwara.
Himpunan Barudak (HB) adalah kelompok sandiwara yang
pertama kali berdiri di wilayah Majaléngka. Kelompok ini dipimpin oleh Karma Al
Habe dari Gandu
Kecamatan Dawuan.
Pada perkembangan selanjutnya kelompok ini mengganti nama menjadi Gaya Remaja dan bermarkas di
Kasokandel.
Pada tahun 1960 sampai tahun 1980-an
di Kadipaten dan Majaléngka pernah berdiri gedung-gedung
pertunjukan Sandiwara. Gedung pertunjukan yang pernah berdiri di Kadipaten bernama Serbaguna. Beberapa kelompok sandiwara yang melakukan pertunjukan
di gedung ini antaranya adalah Galih
Pakuan pimpinan Safaat Suwanda, Budaya Sunda pimpinan Kida, dan Sinar Galih pimpinan Aji
Somara. Di Jatiwangi juga pernah berdiri gedung
kesenian Mustika Budaya.
Selain manggung di gedung-gedung pertunjukan dan memenuhi permintaan hiburan
hajatan atau event khusus, kelompok-kelompok sandiwara itu ada yang melakukan
pertunjukan secara ngubung, yaitu
pertunjukan di beberapa tempat secara berpindah-pindah, misalnya di
Munjul, Kapur, Apuy, dan beberapa tempat lainnya. Seperti halnya
pertunjukan di gedung kesenian, penonton yang datang di tempat ngubung juga
ditarik bayaran.
Masa emas sandiwara Sunda di wilayah
Majaléngka bertahan sampai akhir tahun 1984. Setelah itu nasibnya tersingkirkan
dengan kedatangan hiburan lain berupa pertunjukan film bioskop dan layar tancap serta maraknya perkembangan
televisi.
Gedung Serbaguna di Kadipaten kemudian berubah fungsi
menjadi gedung bioskop. Gedung Mustika Budaya di Jatiwangi berubah fungsi menjadi gudang pupuk,
dan sekarang menjadi pertokoan. Tempat ngubung pun satu-persatu hilang.
Walaupun demikian upaya survive tetap dilakukan. Gaya Remaja di Dawuan dan Medal Kawangi di Palasah hingga sekarang masih berdiri, walaupun frekuensi pertunjukan sudah sangat jarang.
Bahkan beberapa perkumpulan yang relatif baru pun berdiri di beberapa tempat,
antara lain Candra Kirana pimpinan H. HR Affendi di Ampel, Ligung, dan Putra
Remaja pimpinan S. Aripin
di Pagandon.
Beberapa tokoh sandiwara Sunda di
Majaléngka antara lain : Karma Al Habe,
Hj. Mimi Karwati, Komar Sonjaya,
Tatang Riyana, Mih Atin, Agod, Ayi, Hayo Haryono, Toto Subrata, Otong Ruslan,
Dudung Durahman, Jumali, Juned, Odri (Wa Agod), Ratnanengsih (Ma Ala), Toto
Batara, S. Aripin, HR Affendi, dll.
UNSUR CERITA SANDIWARA
Terdapat beberapa jenis cerita yang diangkat dalam pertunjukan sandiwara, yaitu cerita pantun, cerita Mahabarata dalam bentuk wayang orang, cerita babad, dan cerita desik. Cerita pantun antara lain Lutung Kasarung, Sangkuriang, dll. Cerita wayang antara lain Arjunawiwaha, Bangbang Kombayana, dll. Cerita babad di antaranya Dewi Roro Kidul dan Hayam Wuruk, Damar Wulan, Ciung Wanara, dan Suryaningrat. Cerita desik diambil dari cerita seribu satu malam, antaranya adalah Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dll.
Di
wilayah Majaléngka, cerita yang sering ditampilkan adalah cerita pantun dan
cerita babad.
UNSUR BAHASA, DRAMA, TARI, SUARA, DAN RUPA
Bahasa dan sastra menyangkut penggunaan bahasa dan ungkapan dalam pertunjukan sandiwara. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan sandiwara adalah bahasa Sunda berbentuk prosa, namun di sana-sini terdapat banyak sekali ungkapan-ungkapan yang puitis.
Unsur drama menyangkut pemeranan
dalam pertunjukan sandiwara, misalnya raja, permaisuri, patih, dll. Setiap
pemeran melakukan dialog satu sama lain dan terlibat dalam konflik yang
dibangun. Di dalam pemeranan, ada yang
disebut pemeran utama dan pemeran pembantu.
Pemeran utama wanita dalam
pertunjukan sandiwara dikenal dengan sebutan sripanggung. Mimi Karwati, Nanah
Hasanah, adalah dua orang sosok
sripanggung yang sangat dikenal pada masanya.
Unsur tari
tersaji untuk cerita-cerita pantun, cerita wayang, dan cerita babad. Hampir
semua pemain sandiwara mampu menari, dengan karakter tarian sesuai dengan peran
masing-masing pemain.
Seni suara
tersaji dalam bentuk nyanyian yang dibawakan oleh sinden dan penabuh gamelan.
Seperti halnya pertunjukan wayang, setiap adegan memiliki karakter lagu dan
jenis tabuhan tertentu.
Seni rupa
muncul dalam bentuk artistik latar belakang panggung berupa layar-layar yang
dibentang, dan digulung ke atas jika tidak sedang dipakai. Setiap layar
digambar sesuai karakter bagian cerita atau adegan, misalnya layar putih, layar
merah, gambar kadipaten, gambar kaputren, keraton, taman sari, hutan, dll.
TATA CARA PERTUNJUKAN
Pertunjukan sandiwara, yang dimainkan tanpa skenario tertulis, terdiri atas beberapa adegan atau disebut juga bedrip. Para pemain yang masuk pada setiap adegan menarikan tarian sesuai karakter yang dibawakannya.
Seperti halnya pertunjukan teater,
alur cerita biasanya terdiri atas pengenalan – konflik – klimaks –
penyelesaian.
PROSPEK DAN PEMBINAAN
Sandiwara Sunda kini menghadapi masa yang amat sulit. Perkembangan teknologi informasi yang menyajikan berbagai fenomena dunia yang semakin mudah, semakin mempersempit ruang gerak sandiwara Sunda untuk tetap eksis. Jika di beberapa tempat di Majaléngka masih terdapat grup Sandiwara yang masih hidup, adalah karena generasi pemain Sandiwara masih mencoba menghidupi kesenian yang satu ini, walaupun tidak menjanjikan mampu menghidupi dirinya sendiri melalui kesenian yang dikembangkannya ini.
Prospek yang
paling mungkin adalah upaya pelestarian kesenian yang semakin tersudut ini
melalui upaya-upaya :
1.
Regenerasi, berupa pelatihan pengetahuan
dan pemeranan sandiwara kepada generasi muda.
2. Penulisan naskah drama baik berupa bagal
cerita, cerita utuh, maupun berupa skenario, sehingga sandiwara dapat dimainkan
oleh para pemula.
3. Adanya upaya pembaharuan dari para pelaku
sandiwara Sunda, sehingga sandiwara tampil dengan bentuk baru namun tidak
meningalkan khas tradisionalnya. Dengan upaya pembaharuan itu, sandiwara Sunda
akan mampu bersaing dengan tontonan lain yang marak berkembang di
Majaléngka.
Pembaharuan itu misalnya dalam olah cerita, teknik
pemeranan, gending, dan sebagainya. Boleh jadi campursari yang berkembang di
wilayah Jawa
Tengah menjadi contoh yang baik
dari sebuah upaya pembaharuan.
4. Perhatian serius
dari pemerintah untuk tetap memberikan kehidupan kepada kesenian sandi-
diwara
Sunda, baik berupa pementasan rutin, maupun subsidi dengan teknis-teknis
tertentu.
3 komentar:
Hebat, pejuang seni budaya Majalengka. Miris juga bila semua tulisan tentang seni majalengka bernada "pernah berdiri" atau pernah berjaya." Abdi terpanggil, yeuh. Isin ka nu di lembur. Majulah seni budaya Majalengka.
Emang Kang Jaffar di mana sekarang? Jika memang peduli, saya tunggu jabung tumalapung akang di Majalengka
Sayang terkikis oleh kemajuan zaman dan teknologi sandiwara sunda semakin terpinggirkan ada solusi untuk menghidupkan kembali sandiwara sunda ? Saya yang saya kenal sandiwara HB sungguh luar biasa pada waktu itu tiap ada panggung HB selalu nonton sayang sekarang tinggal kenangan....
Posting Komentar