Kamis, 13 Desember 2012

SANDIWARA SUNDA DI MAJALENGKA


            
PENGANTAR
 
Sandiwara Sunda di Majaléngka berkembang sejak awal tahun 1930-an. Seni pertunjukan berbentuk teater ini digemari oleh semua lapisan masyarakat pada waktu itu.
            Beberapa perkumpulan atau grup kesenian sandiwara Sunda pernah berdiri, antara lain di Jatiwangi (Mirah Delima, Medal Kawangi, Kutawaringin),  Majaléngka (Budaya Sunda), Dawuan (Gaya Remaja). Di Darmalarang, Malongpong, Munjul, dan Karayunan pun pernah pula berdiri beberapa kelompok sandiwara.
            Himpunan Barudak (HB) adalah kelompok sandiwara yang pertama kali berdiri di wilayah Majaléngka. Kelompok ini dipimpin oleh Karma Al Habe dari Gandu Kecamatan Dawuan. Pada perkembangan selanjutnya kelompok ini mengganti nama menjadi Gaya Remaja dan bermarkas di Kasokandel.
            Pada tahun 1960 sampai tahun 1980-an di Kadipaten dan Majaléngka pernah berdiri gedung-gedung pertunjukan Sandiwara. Gedung pertunjukan yang pernah berdiri di Kadipaten bernama Serbaguna. Beberapa kelompok sandiwara yang melakukan pertunjukan di gedung ini antaranya adalah Galih Pakuan pimpinan Safaat Suwanda, Budaya Sunda pimpinan Kida, dan Sinar Galih pimpinan Aji Somara. Di Jatiwangi juga pernah berdiri gedung kesenian Mustika Budaya. Selain manggung di gedung-gedung pertunjukan dan memenuhi permintaan hiburan hajatan atau event khusus, kelompok-kelompok sandiwara itu ada yang melakukan pertunjukan secara ngubung, yaitu pertunjukan di beberapa tempat secara berpindah-pindah, misalnya di Munjul, Kapur, Apuy, dan beberapa tempat lainnya. Seperti halnya pertunjukan di gedung kesenian, penonton yang datang di tempat ngubung juga ditarik bayaran.
            Masa emas sandiwara Sunda di wilayah Majaléngka bertahan sampai akhir tahun 1984. Setelah itu nasibnya tersingkirkan dengan kedatangan hiburan lain berupa pertunjukan film bioskop dan layar tancap serta maraknya perkembangan televisi.
            Gedung Serbaguna di Kadipaten kemudian berubah fungsi menjadi gedung bioskop. Gedung Mustika Budaya di Jatiwangi berubah fungsi menjadi gudang pupuk, dan sekarang menjadi pertokoan. Tempat ngubung pun satu-persatu hilang.
            Walaupun demikian upaya survive tetap dilakukan. Gaya Remaja di Dawuan dan Medal Kawangi di Palasah hingga sekarang masih berdiri, walaupun  frekuensi pertunjukan sudah sangat jarang. Bahkan beberapa perkumpulan yang relatif baru pun berdiri di beberapa tempat, antara lain Candra Kirana pimpinan H. HR Affendi di Ampel, Ligung, dan Putra Remaja pimpinan S. Aripin di Pagandon.
            Beberapa tokoh sandiwara Sunda di Majaléngka antara lain : Karma Al Habe, Hj. Mimi Karwati, Komar Sonjaya, Tatang Riyana, Mih Atin, Agod, Ayi, Hayo Haryono, Toto Subrata, Otong Ruslan, Dudung Durahman, Jumali, Juned, Odri (Wa Agod), Ratnanengsih (Ma Ala), Toto Batara, S. Aripin, HR Affendi, dll.

           
UNSUR CERITA SANDIWARA
 
Terdapat beberapa jenis cerita yang diangkat dalam pertunjukan sandiwara, yaitu cerita pantun, cerita Mahabarata dalam bentuk wayang orang, cerita babad, dan cerita desik. Cerita pantun antara lain Lutung Kasarung, Sangkuriang, dll. Cerita wayang antara lain Arjunawiwaha, Bangbang Kombayana, dll. Cerita babad di antaranya Dewi Roro Kidul dan Hayam Wuruk, Damar Wulan, Ciung Wanara, dan Suryaningrat. Cerita desik diambil dari cerita seribu satu malam, antaranya adalah Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dll.
            Di wilayah Majaléngka, cerita yang sering ditampilkan adalah cerita pantun dan cerita babad.

UNSUR BAHASA, DRAMA, TARI, SUARA,  DAN  RUPA

   Bahasa dan sastra menyangkut penggunaan bahasa dan ungkapan dalam pertunjukan sandiwara. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan sandiwara adalah bahasa Sunda berbentuk prosa, namun di sana-sini terdapat banyak sekali ungkapan-ungkapan yang puitis.

   Unsur drama menyangkut pemeranan dalam pertunjukan sandiwara, misalnya raja, permaisuri, patih, dll. Setiap pemeran melakukan dialog satu sama lain dan terlibat dalam konflik yang dibangun. Di dalam pemeranan, ada yang disebut pemeran utama dan pemeran pembantu.
         Pemeran utama wanita dalam pertunjukan sandiwara dikenal dengan sebutan sripanggung. Mimi Karwati, Nanah Hasanah, adalah dua orang sosok sripanggung yang sangat dikenal pada masanya.

  Unsur tari tersaji untuk cerita-cerita pantun, cerita wayang, dan cerita babad. Hampir semua pemain sandiwara mampu menari, dengan karakter tarian sesuai dengan peran masing-masing pemain.

      Seni suara tersaji dalam bentuk nyanyian yang dibawakan oleh sinden dan penabuh gamelan. Seperti halnya pertunjukan wayang, setiap adegan memiliki karakter lagu dan jenis tabuhan tertentu.

      Seni rupa muncul dalam bentuk artistik latar belakang panggung berupa layar-layar yang dibentang, dan digulung ke atas jika tidak sedang dipakai. Setiap layar digambar sesuai karakter bagian cerita atau adegan, misalnya layar putih, layar merah, gambar kadipaten, gambar kaputren, keraton, taman sari, hutan, dll.

             
TATA CARA PERTUNJUKAN
 
Pertunjukan sandiwara, yang dimainkan tanpa skenario tertulis, terdiri atas beberapa adegan atau disebut juga bedrip. Para pemain yang masuk pada setiap adegan menarikan tarian sesuai karakter yang dibawakannya.
            Seperti halnya pertunjukan teater, alur cerita biasanya terdiri atas pengenalan – konflik – klimaks – penyelesaian.

        
PROSPEK DAN PEMBINAAN
 
Sandiwara Sunda kini menghadapi masa yang amat sulit. Perkembangan teknologi informasi yang menyajikan berbagai fenomena dunia yang semakin mudah, semakin mempersempit ruang gerak sandiwara Sunda untuk tetap eksis. Jika di beberapa tempat di Majaléngka masih terdapat grup Sandiwara yang masih hidup, adalah karena generasi pemain Sandiwara masih mencoba menghidupi kesenian yang satu ini, walaupun tidak menjanjikan mampu menghidupi dirinya sendiri melalui kesenian yang dikembangkannya ini.
      Prospek yang paling mungkin adalah upaya pelestarian kesenian yang semakin tersudut ini melalui upaya-upaya :
1.      Regenerasi, berupa pelatihan pengetahuan dan pemeranan sandiwara kepada generasi muda.
2.   Penulisan naskah drama baik berupa bagal cerita, cerita utuh, maupun berupa skenario, sehingga sandiwara dapat dimainkan oleh para pemula.
3.     Adanya upaya pembaharuan dari para pelaku sandiwara Sunda, sehingga sandiwara tampil dengan bentuk baru namun tidak meningalkan khas tradisionalnya. Dengan upaya pembaharuan itu, sandiwara Sunda akan mampu bersaing dengan tontonan lain yang marak berkembang di Majaléngka.
Pembaharuan itu misalnya dalam olah cerita, teknik pemeranan, gending, dan sebagainya. Boleh jadi campursari yang berkembang di wilayah Jawa Tengah menjadi contoh yang baik dari sebuah upaya pembaharuan.
4.  Perhatian serius dari pemerintah untuk tetap memberikan kehidupan kepada kesenian sandi-
     diwara Sunda, baik berupa pementasan rutin, maupun subsidi dengan teknis-teknis tertentu.

3 komentar:

Hebat, pejuang seni budaya Majalengka. Miris juga bila semua tulisan tentang seni majalengka bernada "pernah berdiri" atau pernah berjaya." Abdi terpanggil, yeuh. Isin ka nu di lembur. Majulah seni budaya Majalengka.

Emang Kang Jaffar di mana sekarang? Jika memang peduli, saya tunggu jabung tumalapung akang di Majalengka

Sayang terkikis oleh kemajuan zaman dan teknologi sandiwara sunda semakin terpinggirkan ada solusi untuk menghidupkan kembali sandiwara sunda ? Saya yang saya kenal sandiwara HB sungguh luar biasa pada waktu itu tiap ada panggung HB selalu nonton sayang sekarang tinggal kenangan....

Posting Komentar