A. Tinjauan Historis
Kesenian
pantun merupakan kesenian tradisional yang didukung oleh seni sastra dan seni
karawitan. Jakon Sumardjo (2003) menyebut pantun sebagai seni pertunjukan
dengan jenis teater tutur. Disebut teater tutur karena pertunjukan pantun hanya
dilakukan oleh seorang pencerita yang mengisahkan sebuah lakon atau hanya
ungkapan liris, dalam bentuk bercerita dan atau dinyanyikan. Selama penceritaan
berlangsung juru pantun menggunakan kecapi sebagai alat pengiring.
Diperkirakan pantun hidup di wilayah
Jawa Barat sejak tahun 1514 M, sebagaimana tercatat dalam Siksakandang Karesian yaitu sebuah kitab tertua yang pernah ditulis
pada jaman Kerajaan Pajajaran. Inti cerita pantun adalah sekitar kehidupan
kerajaan (Pajajaran) dan pengembangan wilayahnya, yakni kisah penaklukan
kerajaan-kerajaan di sekitarnya, dan atau kisah lain yang masih berhubungan
dengan kepentingan Kerajaan Pajajaran.
Wilayah
Majaléngka, sebagai salah satu bagian dari wilayah Jawa Barat,
tentu saja memiliki sejarahnya tersendiri dalam hal kesenian pantun ini. Oom Somara
de Uci, salah seorang budayawan Majaléngka, menyebut
bahwa kesenian pantun di Majaléngka sudah hidup sejak jaman Majaléngka dipimpin
oleh Ratu Rambutkasih, waktu itu Majaléngka masih
bernama Sindangkasih. Kecapi merupakan koleksi alat kesenian yang dimiliki oleh
Sang Ratu. Meskipun demikian, Ajip Rosidi yang pernah merekam cerita-cerita
pantun dan kemudian membuat transkripsinya, mengatakan bahwa di Majaléngka
tidak ada kesenian pantun. Bisa jadi waktu itu Ajip Rosidi belum melakukan
penelitian yang lebih jauh tentang keberadaan pantun di Majaléngka.
Sebagaimana halnya di daerah lain di Jawa Barat, kesenian pantun di
Majaléngka mengalami masa keemasan pada tahun 1950-1960-an. Beberapa
nama di bawah ini merupakan juru pantun yang pernah meramaikan pertunjukan
pantun di Majaléngka, antara lain :
- Ki Saein dari Tonjong
- Sidik dari Bantarjati
- Warwa dari Jatitujuh
- Maun dari Pasir, Palasah
- Nadi dari Kutamanggu
- Baedi dari Kadipaten
- Kusma dari Kadipaten
B.
Waditra dan Tata Cara Pertunjukan
Waditra
yang digunakan dalam pergelaran pantun adalah kecapi. Jurupantun memainkan
kecapi sendiri sepanjang cerita yang dibawakannya.
Cerita pantun dimulai dengan :
- Rajah Pamunah,
- Mangkat carita,
- Nataan karajaan dan para tokoh cerita,
- Bercerita
- Rajah Pamungkas atau Rajah Penutup.
Cerita pantun yang terkenal antara
lain Mundinglaya di Kusumah, Lutung
Kasarung, Ciung Wanara, Nyi Sumur Bandung, Sulanjana, Panggung Karaton, Demung
Kalagan, dan sebagainya. Berdasarkan transkripsi Ajip Rosidi, Jakob
Sumardjo mencatat ada 32 judul cerita pantun.
Pada umumnya pantun dipertunjukan
untuk acara-acara sakral seperti upacara ruat (ngaruat), namun kadang ramai
juga dipertunjukan dalam acara khitanan atau perkawinan. Pertunjukan selalu
dilaksanakan pada malam hari.
Di sebagian wilayah Majalengka, kesenian pantun masih
diminati, namun frekuensinya sudah sangat berkurang. Kini hanya tercatat tiga
orang juru pantun saja yang masih hidup, yaitu Cecep di Palasah, Rasim
di Mandapa, dan Iwan Ompong di
Dawuan. Cecep yang tuna netra bahkan tidak lagi melakukan aktivitasnya sebagai
juru pantun. Usianya sudah sangat uzur.
Prospek kesenian pantun agaknya
mengalami hal yang amat sulit. Generasi muda semakin tidak mengenal jenis
kesenian yang satu ini. Pembinaan kiranya dapat dilakukan lewat upaya
pengenalan pantun melalui institusi sekolah atau pertunjukan rutin di
masyarakat. Setidaknya, kesenian pantun pernah dikenal masyarakat, bukan hanya
melalui tuturan guru di sekolah, akan tetapi melalui pengalaman menyaksikan
atau apresiasi.
0 komentar:
Posting Komentar