SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

Jumat, 14 Desember 2012

WAYANG KULIT PURWA DI MAJALENGKA

A. Tinjauan Historis 

Wayang kulit telah ada sejak masa pemerintahan Sri Maharaja Lokapala Hariwangsa Tunggadewa. Ini diketahui dari prasasti yang dikeluarkan tahun 840 M. Prasasti lainnya yang menyebut adanya wayang kulit adalah prasasti yang berangka tahun 907 ketika Diah Balitung memerintah Mataram I. Di Jawa, wayang kulit dikenal masyarakat pada masa pemerintahan Raja Airlangga sekitar abad XI. Pada masa pemerintahan Raden Fatah (Demak) wayang kulit pernah dilarang, karena wajahnya seperti manusia.
Agar wayang tetap hidup, para wali bersepakat membuat bentunya yang baru, terbuat dari kulit yang sangat sederhana. Sunan Kalijaga kemudian mengusulkan agar wayang kulit menjadi media syiar Islam. Di samping itu bertujuan untuk menghilangkan kepercayaan kepada dewa-dewa dalam agama Hindu. Karakteristik tokoh pendeta yang ada pada Mahabarata dirubah, sehingga masyarakat beralih pandang dan bersedia masuk agama Islam.
Seiring dengan upaya penyebaran agama Islam, wayang kulit masuk ke wilayah Cirebon dan sekitarnya. Imbas dari penyebaran agama Islam melalui Cirebon itu akhirnya sampai juga di wilayah Majaléngka, dan berkembang pesat pada tahun 1960-an. Wayang kulit yang berkembang di Majaléngka terutama tersebar di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Cirebon dan Indramayu, seperti Jatitujuh, Jatiwangi, dan Sumberjaya.
Terdapat beberapa pebedaan antara wayang kulit yang berkembang di Cirebon dan sekitarnya dengan wayang kulit di Yogyakarta, antaranya :
1. Bentuk tokoh lakon Mahabarata dan Ramayana yang berkembang di Cirebon dan sekitarnya cenderung sama dengan yang berkembang di Demak.
2. Tokoh panakawan di wilayah Cirebon, Indramayu dan Majalengka terdapat 9, yaitu Semar, Gareng, Dawala, Sekarpandan, Bagong (Astrajingga), Cungkring, Bitarita, Ceblok, dan Bagalbuntung. Sedangkan di Yogyakarta hanya empat, yaitu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Perkembangan wayang kulit di Majaléngka tidak bisa lepas dari nama Sunan Kalijaga dengan sebutan Pangéran Panggung sebagai cikal bakalnya.
Di bawah adalah tokoh-tokoh yang berperan dalam mengembangkan wayang kulit.
1. Pangéran Panggung (Sunan Kalijaga)
2. Pangéran Canggah Kawi
3. Pangéran Surapringga
4. Kidar
5. Kintan
6. Kaca
7. Gunteng (Gendut)
8. Keling (Karep), yang satu ini merupakan dalang Keraton Kasepuhan Cirebon. Ia juga mendapat julukan Ngabei Kertaswara atau Embah Bei.
9. Patut
10. Candra / Suwati
11. Supena
12. Dana
13. Suta
14. Karma Al HB

B. Waditra dan Tata Cara Pertunjukan 

 Pergelaran wayang kulit biasanya menggunakan layar atau kain putih membentang di bagian depan panggung. Di belakang layar dipasang lampu blencong (dalung), penonton dapat melihat bayangan wayang kulit di layar bagian depan ketika wayang kulit dimainkan.
Waditra pengiring wayang kulit adalah seperangkat gamelan berlaras pelog yang terdiri dari : gendang, kulanter, bedug, saron, peking, selentem, gong, kempul, panerus, kenong, jengglong, ketuk, gambang, kecrek, kamanak, dan suling.
Adapun personil pergelaran wayang kulit adalah dalang, pemain gamelan (nayaga), sinden, alok, dan catrik (pembantu dalang).
Sebelum pergelaran dimulai, dalang membakar dupa dan membacakan do’a, memohon lindungan dari Tuhan Yang Mahakuasa dan restu dari para ‘karuhun’, agar diberi kekuatan, kecemerlangan berpikir, kefasihan berbicara, dan terutama sekali, keselamatan pertunjukan sejak awal sampai akhir.
Dalam praktiknya, selain sebagai tontonan, wayang kulit juga befungsi sakral, sering dimainkan dalam acara-acara upacara adat, seperti Muludan, Mapag Sri, dan Ngaruat. Untuk keperluan upacara adat, biasanya diperlukan pelengkap berupa sesajian, berupa rujak dan makanan lainnya. Waktu Pabrik Gula Kadipaten masih aktif, wayang kulit menjadi salah satu hiburan wajib yang dipertunjukkan di salah satu sudut lokasi pabrik. Di beberapa tempat, misalnya di Sidamukti, wayang kulit masih sering digelar terutama untuk acara ngaruat. Di Karayunan dan di beberapa daerah di wilayah utara Majaléngka, wayang kulit masih memiliki banyak penggemar.

C. Prospek dan Pembinaan 

 Dalam sebuah kesempatan wawancara, Sukarta, salah seorang tokoh pedalangan wayang kulit purwa di Majaléngka mengemukakan harapan, bahwa seyogyanya wayang kulit kembali ‘dihidupkan’. Ia berpendapat, sebenarnya sebagian besar masyarakat Majaléngka menggemari wayang kulit. Kuncinya adalah adanya perhatian dari pemerintah daerah terhadap kesenian wayang kulit. Misalnya dengan menganjurkan kembali pelaksanaan upacara adat yang di beberapa tempat sudah mulai ditinggalkan.
Upacara adat seperti muka tanah, mapag sri (saat mau panén), dsb. minimal membutuhkan pertunjukan wayang kulit, walau hanya untuk satu kali dalam satu tahun. Daerah yang masih melakukan upacara adat demikian adalah Sidamukti dan Ligung. Di dua daerah ini wayang kulit masih dibutuhkan.
Pembinaan yang dilakukan antara lain melaksanakan pergelaran secara berkala, atau melaksanakan ajang binojakrama seperti yang pernah dilakukan pada bulan Juni tahun 2007. Dari ajang tersebut diketahui, ternyata di Majaléngka potensi pedalangan wayang kulit masih cukup baik.
Berikut beberapa dalang dan nama grupnya yang masih eksis di Majaléngka :
1. Renda, Ringgit Purwa, di Cicurug, Majaléngka.
2. Sukarta, Panggelar Budi, di Bongas, Sumber Jaya (Juara Umum Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit se-Jawa Barat tahun 1993).
3. Eye Rosdiana, Panca Darma, Sindangwasa, Palasah (Juara 1 Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit se-Jawa Barat tahun 1995).
4. Eman di Cicurug, Majalengka
5. Yono Dana Muda, Gaya Mekar, di Ranji, Dawuan
6. Edi Permana, Sri Sejati, di Balida, Dawuan (Juara II Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit 2007 di Majaléngka)
7. Parta Suwandana. Gaya Pribadi, di Loji, Palasah
8. Oong Kertaswara, Pancaroba, di Balida, Dawuan
9. Ita Karwita, di Randegan, Jatitujuh (Juara III Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit 2007)
10. Waskita, di Iser, Leuwimunding (Juara I Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit 2007 di Majaléngka)
11. Anom Suhadi, di Jatitengah, Jatitujuh (masih berusia 15 tahun, tercatat sebagai peserta termuda Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit 2007 di Majaléngka).

Kamis, 13 Desember 2012

SANDIWARA SUNDA DI MAJALENGKA


            
PENGANTAR
 
Sandiwara Sunda di Majaléngka berkembang sejak awal tahun 1930-an. Seni pertunjukan berbentuk teater ini digemari oleh semua lapisan masyarakat pada waktu itu.
            Beberapa perkumpulan atau grup kesenian sandiwara Sunda pernah berdiri, antara lain di Jatiwangi (Mirah Delima, Medal Kawangi, Kutawaringin),  Majaléngka (Budaya Sunda), Dawuan (Gaya Remaja). Di Darmalarang, Malongpong, Munjul, dan Karayunan pun pernah pula berdiri beberapa kelompok sandiwara.
            Himpunan Barudak (HB) adalah kelompok sandiwara yang pertama kali berdiri di wilayah Majaléngka. Kelompok ini dipimpin oleh Karma Al Habe dari Gandu Kecamatan Dawuan. Pada perkembangan selanjutnya kelompok ini mengganti nama menjadi Gaya Remaja dan bermarkas di Kasokandel.
            Pada tahun 1960 sampai tahun 1980-an di Kadipaten dan Majaléngka pernah berdiri gedung-gedung pertunjukan Sandiwara. Gedung pertunjukan yang pernah berdiri di Kadipaten bernama Serbaguna. Beberapa kelompok sandiwara yang melakukan pertunjukan di gedung ini antaranya adalah Galih Pakuan pimpinan Safaat Suwanda, Budaya Sunda pimpinan Kida, dan Sinar Galih pimpinan Aji Somara. Di Jatiwangi juga pernah berdiri gedung kesenian Mustika Budaya. Selain manggung di gedung-gedung pertunjukan dan memenuhi permintaan hiburan hajatan atau event khusus, kelompok-kelompok sandiwara itu ada yang melakukan pertunjukan secara ngubung, yaitu pertunjukan di beberapa tempat secara berpindah-pindah, misalnya di Munjul, Kapur, Apuy, dan beberapa tempat lainnya. Seperti halnya pertunjukan di gedung kesenian, penonton yang datang di tempat ngubung juga ditarik bayaran.
            Masa emas sandiwara Sunda di wilayah Majaléngka bertahan sampai akhir tahun 1984. Setelah itu nasibnya tersingkirkan dengan kedatangan hiburan lain berupa pertunjukan film bioskop dan layar tancap serta maraknya perkembangan televisi.
            Gedung Serbaguna di Kadipaten kemudian berubah fungsi menjadi gedung bioskop. Gedung Mustika Budaya di Jatiwangi berubah fungsi menjadi gudang pupuk, dan sekarang menjadi pertokoan. Tempat ngubung pun satu-persatu hilang.
            Walaupun demikian upaya survive tetap dilakukan. Gaya Remaja di Dawuan dan Medal Kawangi di Palasah hingga sekarang masih berdiri, walaupun  frekuensi pertunjukan sudah sangat jarang. Bahkan beberapa perkumpulan yang relatif baru pun berdiri di beberapa tempat, antara lain Candra Kirana pimpinan H. HR Affendi di Ampel, Ligung, dan Putra Remaja pimpinan S. Aripin di Pagandon.
            Beberapa tokoh sandiwara Sunda di Majaléngka antara lain : Karma Al Habe, Hj. Mimi Karwati, Komar Sonjaya, Tatang Riyana, Mih Atin, Agod, Ayi, Hayo Haryono, Toto Subrata, Otong Ruslan, Dudung Durahman, Jumali, Juned, Odri (Wa Agod), Ratnanengsih (Ma Ala), Toto Batara, S. Aripin, HR Affendi, dll.

           
UNSUR CERITA SANDIWARA
 
Terdapat beberapa jenis cerita yang diangkat dalam pertunjukan sandiwara, yaitu cerita pantun, cerita Mahabarata dalam bentuk wayang orang, cerita babad, dan cerita desik. Cerita pantun antara lain Lutung Kasarung, Sangkuriang, dll. Cerita wayang antara lain Arjunawiwaha, Bangbang Kombayana, dll. Cerita babad di antaranya Dewi Roro Kidul dan Hayam Wuruk, Damar Wulan, Ciung Wanara, dan Suryaningrat. Cerita desik diambil dari cerita seribu satu malam, antaranya adalah Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dll.
            Di wilayah Majaléngka, cerita yang sering ditampilkan adalah cerita pantun dan cerita babad.

UNSUR BAHASA, DRAMA, TARI, SUARA,  DAN  RUPA

   Bahasa dan sastra menyangkut penggunaan bahasa dan ungkapan dalam pertunjukan sandiwara. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan sandiwara adalah bahasa Sunda berbentuk prosa, namun di sana-sini terdapat banyak sekali ungkapan-ungkapan yang puitis.

   Unsur drama menyangkut pemeranan dalam pertunjukan sandiwara, misalnya raja, permaisuri, patih, dll. Setiap pemeran melakukan dialog satu sama lain dan terlibat dalam konflik yang dibangun. Di dalam pemeranan, ada yang disebut pemeran utama dan pemeran pembantu.
         Pemeran utama wanita dalam pertunjukan sandiwara dikenal dengan sebutan sripanggung. Mimi Karwati, Nanah Hasanah, adalah dua orang sosok sripanggung yang sangat dikenal pada masanya.

  Unsur tari tersaji untuk cerita-cerita pantun, cerita wayang, dan cerita babad. Hampir semua pemain sandiwara mampu menari, dengan karakter tarian sesuai dengan peran masing-masing pemain.

      Seni suara tersaji dalam bentuk nyanyian yang dibawakan oleh sinden dan penabuh gamelan. Seperti halnya pertunjukan wayang, setiap adegan memiliki karakter lagu dan jenis tabuhan tertentu.

      Seni rupa muncul dalam bentuk artistik latar belakang panggung berupa layar-layar yang dibentang, dan digulung ke atas jika tidak sedang dipakai. Setiap layar digambar sesuai karakter bagian cerita atau adegan, misalnya layar putih, layar merah, gambar kadipaten, gambar kaputren, keraton, taman sari, hutan, dll.

             
TATA CARA PERTUNJUKAN
 
Pertunjukan sandiwara, yang dimainkan tanpa skenario tertulis, terdiri atas beberapa adegan atau disebut juga bedrip. Para pemain yang masuk pada setiap adegan menarikan tarian sesuai karakter yang dibawakannya.
            Seperti halnya pertunjukan teater, alur cerita biasanya terdiri atas pengenalan – konflik – klimaks – penyelesaian.

        
PROSPEK DAN PEMBINAAN
 
Sandiwara Sunda kini menghadapi masa yang amat sulit. Perkembangan teknologi informasi yang menyajikan berbagai fenomena dunia yang semakin mudah, semakin mempersempit ruang gerak sandiwara Sunda untuk tetap eksis. Jika di beberapa tempat di Majaléngka masih terdapat grup Sandiwara yang masih hidup, adalah karena generasi pemain Sandiwara masih mencoba menghidupi kesenian yang satu ini, walaupun tidak menjanjikan mampu menghidupi dirinya sendiri melalui kesenian yang dikembangkannya ini.
      Prospek yang paling mungkin adalah upaya pelestarian kesenian yang semakin tersudut ini melalui upaya-upaya :
1.      Regenerasi, berupa pelatihan pengetahuan dan pemeranan sandiwara kepada generasi muda.
2.   Penulisan naskah drama baik berupa bagal cerita, cerita utuh, maupun berupa skenario, sehingga sandiwara dapat dimainkan oleh para pemula.
3.     Adanya upaya pembaharuan dari para pelaku sandiwara Sunda, sehingga sandiwara tampil dengan bentuk baru namun tidak meningalkan khas tradisionalnya. Dengan upaya pembaharuan itu, sandiwara Sunda akan mampu bersaing dengan tontonan lain yang marak berkembang di Majaléngka.
Pembaharuan itu misalnya dalam olah cerita, teknik pemeranan, gending, dan sebagainya. Boleh jadi campursari yang berkembang di wilayah Jawa Tengah menjadi contoh yang baik dari sebuah upaya pembaharuan.
4.  Perhatian serius dari pemerintah untuk tetap memberikan kehidupan kepada kesenian sandi-
     diwara Sunda, baik berupa pementasan rutin, maupun subsidi dengan teknis-teknis tertentu.

Rabu, 05 Desember 2012

PERKEMBANGAN SENI PANTUN DI MAJALENGKA



A.     Tinjauan Historis
              Kesenian pantun merupakan kesenian tradisional yang didukung oleh seni sastra dan seni karawitan. Jakon Sumardjo (2003) menyebut pantun sebagai seni pertunjukan dengan jenis teater tutur. Disebut teater tutur karena pertunjukan pantun hanya dilakukan oleh seorang pencerita yang mengisahkan sebuah lakon atau hanya ungkapan liris, dalam bentuk bercerita dan atau dinyanyikan. Selama penceritaan berlangsung juru pantun menggunakan kecapi sebagai alat pengiring.
            Diperkirakan pantun hidup di wilayah Jawa Barat sejak tahun 1514 M, sebagaimana tercatat dalam Siksakandang Karesian yaitu sebuah kitab tertua yang pernah ditulis pada jaman Kerajaan Pajajaran. Inti cerita pantun adalah sekitar kehidupan kerajaan (Pajajaran) dan pengembangan wilayahnya, yakni kisah penaklukan kerajaan-kerajaan di sekitarnya, dan atau kisah lain yang masih berhubungan dengan kepentingan Kerajaan Pajajaran.
            Wilayah Majaléngka, sebagai salah satu bagian dari wilayah Jawa Barat, tentu saja memiliki sejarahnya tersendiri dalam hal kesenian pantun ini. Oom Somara de Uci, salah seorang budayawan Majaléngka, menyebut bahwa kesenian pantun di Majaléngka sudah hidup sejak jaman Majaléngka dipimpin oleh Ratu Rambutkasih, waktu itu Majaléngka masih bernama Sindangkasih. Kecapi merupakan koleksi alat kesenian yang dimiliki oleh Sang Ratu. Meskipun demikian, Ajip Rosidi yang pernah merekam cerita-cerita pantun dan kemudian membuat transkripsinya, mengatakan bahwa di Majaléngka tidak ada kesenian pantun. Bisa jadi waktu itu Ajip Rosidi belum melakukan penelitian yang lebih jauh tentang keberadaan pantun di Majaléngka.
            Sebagaimana halnya di daerah lain di Jawa Barat, kesenian pantun di Majaléngka mengalami masa keemasan pada tahun 1950-1960-an. Beberapa nama di bawah ini merupakan juru pantun yang pernah meramaikan pertunjukan pantun di Majaléngka, antara lain :
  1. Ki Saein dari Tonjong
  2. Sidik dari Bantarjati
  3. Warwa dari Jatitujuh
  4. Maun dari Pasir, Palasah
  5. Nadi dari Kutamanggu
  6. Baedi dari Kadipaten
  7. Kusma dari Kadipaten

B. Waditra dan Tata Cara Pertunjukan
           Waditra yang digunakan dalam pergelaran pantun adalah kecapi. Jurupantun memainkan kecapi sendiri sepanjang cerita yang dibawakannya.
            Cerita pantun dimulai dengan  :
  1. Rajah Pamunah,
  2. Mangkat carita,
  3. Nataan karajaan dan para tokoh cerita,
  4. Bercerita
  5. Rajah Pamungkas atau Rajah Penutup.
            Cerita pantun yang terkenal antara lain Mundinglaya di Kusumah, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Nyi Sumur Bandung, Sulanjana, Panggung Karaton, Demung Kalagan, dan sebagainya. Berdasarkan transkripsi Ajip Rosidi, Jakob Sumardjo mencatat ada 32 judul cerita pantun.
            Pada umumnya pantun dipertunjukan untuk acara-acara sakral seperti upacara ruat (ngaruat), namun kadang ramai juga dipertunjukan dalam acara khitanan atau perkawinan. Pertunjukan selalu dilaksanakan pada malam hari.

C. Prospek dan Pembinaan
Di sebagian wilayah Majalengka, kesenian pantun masih diminati, namun frekuensinya sudah sangat berkurang. Kini hanya tercatat tiga orang juru pantun saja yang masih hidup, yaitu Cecep di Palasah, Rasim di Mandapa, dan Iwan Ompong di Dawuan. Cecep yang tuna netra bahkan tidak lagi melakukan aktivitasnya sebagai juru pantun. Usianya sudah sangat uzur.
            Prospek kesenian pantun agaknya mengalami hal yang amat sulit. Generasi muda semakin tidak mengenal jenis kesenian yang satu ini. Pembinaan kiranya dapat dilakukan lewat upaya pengenalan pantun melalui institusi sekolah atau pertunjukan rutin di masyarakat. Setidaknya, kesenian pantun pernah dikenal masyarakat, bukan hanya melalui tuturan guru di sekolah, akan tetapi melalui pengalaman menyaksikan atau apresiasi.

Minggu, 15 Juli 2012

Membangun Masyarakat Madani Berbasis Kearifan Lokal


Oleh Dadang Respati Puguh
 

Pengertian dan Karakteristik. 
Masyarakat madani merupakan istilah yang dipakai untuk mengkonseptualisasikan sebuah masyarakat ideal yang dicita-citakan. Istilah itu diterjemahkan dari bahasa Arab “Mujtama’ madani” yang diperkenalkan kali pertama oleh Naquib al-Attas, guru besar sejarah dan peradaban Islam yang juga filosof kontemporer dari Malaysia (“Masyarakat Madani…”), serta pendiri sebuah lembaga yang bernama Institute for Islamic Thought and Civilisation (ISTAC) yang disponsori oleh Anwar Ibrahim.

Anwar Ibrahim yang dianggap sebagai tokoh yang memperkenalkan istilah “masyarakat madani” di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai sistem sosial yang subur yang berazaskan moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat. Ia juga memberikan gambaran kondisi yang bertentangan dengan masyarakat madani, yaitu adanya kemelut yang diderita oleh umat manusia seperti meluasnya keganasan, sikap melampaui batas, kemiskinan, ketidakadilan, kebejatan sosial, kejahilan, kelesuan intelektual, dan kemunduran budaya yang merupakan manifestasi masyarakat madani yang kritis. Walaupun ide-ide masyarakat madani bertolak dari konsep civil society, namun ide-ide itu juga terdapat dalam konsep yang disebut Gelner dengan “High Islam”, budaya tinggi Islam yang juga terdapat dalam sejarah Islam Asia Tenggara di kalangan Muslim Melayu Indonesia (Hidayat, 2008).

Komaruddin Hidayat (1999: 267-268) menyatakan bahwa dalam wacana keislaman di Indonesia, istilah “masyarakat madani” kali pertama diperkenalkan oleh Nurcholish Madjid, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan yang didirikannya, yaitu Paramadinah [terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau "parama" dan "dina"]. Secara “semantik” artinya kira-kira ialah, sebuah agama [dina] yang excellent [paramount] yang misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban [madani] (Sanaky, “Pembaharuan Pendidikan Islam…). Selanjutnya, ia mempopulerkan istilah itu dalam wacana dan ruang lingkup yang lebih luas yang kemudian diikuti oleh para pakar yang lain.

Menurut Nurcholish Madjid (2000: 80) masyarakat madani merupakan masyarakat yang sopan, beradab, dan teratur dalam bentuk negara yang baik. Menurutnya masyarakat madani dalam semangat moderen tidak lain dari civil society, karena kata “madani” menunjuk pada makna peradaban atau kebudayaan. Oleh karena ide-ide dasar masyarakat madani dan substansi civil society yang berkembang di dunia Eropa sama, maka Dawam Raharjo berpendapat bahwa substansi masyarakat madani dalam dunia Islam dan civil society di dunia Barat adalah satu. Teori civil society dapat dipinjam untuk menjelaskan istilah masyarakat madani yang digali dari khazanah sejarah Islam. Senada dengan hal ini Nurcholish Madjid, tidak membedakan antara masyarakat madani yang lahir dari khazanah sejarah dan peradaban Islam dengan civil society yang lahir dari sejarah Eropa atau peradaban Barat (Hidayat, 2008).

Sementara itu, Emil Salim sebagai ketua Gerakan Masyarakat Madani, pernah mengatakan bahwa masyarakat madani sebenarnya telah ada di Indonesia. Wujud masyarakat madani sesungguhnya telah tertanam dalam masyarakat paguyuban yang dominan di masa lalu, ketika kelompok masyarakat berkedudukan sama dan mengatur kehidupan bersama dengan musyawarah. Selanjutnya ia menambahkan, bahwa substansi masyarakat madani telah lama ada dalam etika sosial politik masyarakat Indonesia yang berkembang dalam kultur masyarakat Indonesia. Semangat egaliterianisme dan budaya sosial politik yang mengedepankan mekanisme musyawarah dalam penyelenggaraan kehidupan sosial dan politik merupakan budaya masyarakat Indonesia yang menonjol. Dalam perspektif civil society (Barat) mekanisme musyawarah dalam menyelesaikan masalah merupakan salah satu prosedur demokrasi yang substantif (Hidayat, 2008).

Karakteristik. Bertolak dari beberapa pengertian masyarakat madani yang telah disampaikan di atas, maka karakteristik yang menonjol pada masyarakat madani adalah sebagai berikut.

1.   Ruang Publik yang Bebas

Adanya ruang publik yang bebas merupakan sarana dalam mewujudkan masyarakat madani. Pada ruang publik yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami distorsi dan kekhawatiran. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, maka ruang publik yang bebas menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan. Dengan menafikan ruang publik yang bebas dalam tatanan masyarakat madani, maka akan terjadi pemberangusan kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya yang berkenaan dengan kepentingan umum oleh penguasa yang tiranik dan otoriter.

 2.   Demokratis

Masyarakat madani ditandai oleh berkembangnya iklim demokrasi berupa kebebasan berpendapat dan bertindak baik secara individual maupun kolektif yang bertanggung jawab, sehingga tercipta keseimbangan antara implementasi kebebasan individu dan kestabilan sosial, serta penyelengaraan pemerintahan secara demokratis.

 3.   Toleran

Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukan sikap saling menghargai dan menghormati aktivitas yang dilakukan oleh orang lain.

 4. Pluralisme dan Multikulturalisme

Pluralisme menunjuk pada keragaman/ kemajemukan, yakni kondisi dalam suatu masyarakat yang secara faktual berbeda-beda. Sementara itu multikultralisme lebih mengacu pada sikap warga masyarakat terhadap perbedaan-perbedaan baik yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan maupun  dalam masyarakat lain. Sikap itu dibentuk dengan melibatkan seperangkat nilai yang didasarkan pada minat untuk mempelajari dan memahami (understanding) dan pada penghormatan (respect) serta penghargaaan (valuation) kepada kebudayaan masyarakat lain. Walaupun tidak selalu diikuti dengan kesetujuan dan kesepakatan terhadap apa yang ada dalam kebudayaan lain, tetapi yang ditekankan dalam multikulturalisme adalah pemahaman, penghormatan, dan penghargaan (Blum, 2001: 19; lihat juga Ahimsa-Putra, 2009: 2-4).

 5. Menjunjung Tinggi Hak Azasi Manusia dan Keadilan Sosial

Karakteristik ini ditandai dengan adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan (Mawardi, 2008; Hidayat, 2008; Sanaky, “Pembaharuan Pendidikan Islam…);  “Masyarakat Madani…”).

Signifikansi Kearifan Lokal dalam Pembangunan Masyarakat Madani. Kearifan lokal adalah “pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka”. Istilah ini dalam bahasa Inggris dikonsepsikan sebagai local wisdom (kebijakan setempat) atau local knowledge (pengetahuan setempat) atau local genious (kecerdasan setempat). Sistem pemenuhan kebutuhan mereka meliputi seluruh unsur kehidupan: agama, ilmu pengetahuan, ekonomi, teknologi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian. Mereka mempunyai pemahaman, program, kegiatan, pelaksanaan terkait untuk mempertahankan, memperbaiki, mengembangkan unsur kebutuhan mereka, dengan memperhatikan lingkungan dan sumber daya manusia yang terdapat pada warga mereka (“Memberdayakan Kearifan Lokal…”). Bertolak dari definisi itu, maka kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu (budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal). Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture).

Budaya lokal (juga sering disebut budaya daerah[3]) merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Permendagri Nomor 39 Tahun 2007 pasal 1 mendefinisikan budaya daerah sebagai “suatu sistem nilai yang dianut oleh komunitas/ kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang diyakini akan dapat memenuhi harapan-harapan warga masyarakatnya dan di dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap tatacara masyarakat yang diyakini dapat memenuhi kehidupan warga masyarakatnya” (Dirjen Kesbangpol Depdagri, 2007: 5).

Di Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/ subetnik. Setiap bangsa, etnik, dan sub etnik memiliki kebudayaan yang mencakup tujuh unsur, yaitu:  bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian (Koentjaraningrat, 1986: 203-204). Namun demikian, sifat-sifat khas kebudayaan hanya dapat dimanifestasikan dalam unsur-unsur terbatas,  terutama melalui bahasa, kesenian, dan upacara. Unsur-unsur yang lain sulit untuk menonjolkan sifat-sifat khas kebudayaan suatu bangsa atau suku bangsa (Koentjaraningrat, 1984: 109).

Apa arti penting kearifan lokal (yang terdapat dalam budaya lokal) dalam pembangunan masyarakat madani? Di dalam budaya lokal terdapat gagasan-gagasan (ideas, cultural system), perilaku-perilaku (activities, social system), dan artifak-artifak (artifacts, material culture) yang mengandung nilai-nilai yang berguna dan relevan bagi pembangunan masyarakat madani. Di setiap unsur kebudayaan yang telah disebutkan beserta sub-subunsurnya dapat dipastikan mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pembangunan masyarakat madani. Relevansi dan kebergunaan itu terdapat misalnya dalam hal-hal sebagai berikut:

1.    Bentuk-bentuk seni tradisi yang berkembang dalam suatu kebudayaan tidak semata-mata diciptakan untuk memenuhi kebutuhan estetis, tetapi untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang didasarkan pada alasan religius, mitos, mata pencaharian, dan integrasi sosial.

2.   Nilai budaya dan norma dalam kebudayaan tertentu tetap dianggap sebagai pemandu perilaku yang menentukan keberadaban, seperti kebajikan, kesantunan, kejujuran, tenggang rasa, dan tepa salira.

3.    Teknologi beserta teknik-tekniknya dalam praktik dianggap merupakan keunggulan yang dapat dipersandingkan dan dipersaingkan dengan teknologi yang dikenal dalam kebudayaan lain.

4.    Suatu rangkaian tindakan upacara tradisi tetap dianggap mempunyai makna simbolik yang dapat diterima meskipun sistem kepercayaan telah berubah. Upacara tradisi juga berfungsi sebagai media integrasi sosial.

5.    Permainan tradisional dan berbagai ekspresi folklor lain mempunyai daya kreasi yang sehat, nilai-nilai kebersamaan, dan pesan-pesan simbolik keutamaan kehidupan (Sedyawati, 2008: 280).

Upaya-upaya Membangun Masyarakat Madani Berbasis Kearifan Lokal

Beberapa indikator yang dapat digunakan sebagai ukuran tercapainya kondisi madani, yaitu: 1) terpeliharanya eksistensi agama atau ajaran-ajaran yang ada dalam masyarakat; 2) terpelihara dan terjaminnya keamanan, ketertiban, dan keselamatan; 3) tegaknya kebebasan berpikir yang jernih dan sehat; 4) terbangunnya eksistensi kekeluargaan yang tenang dan tenteram dengan penuh toleransi dan tenggang rasa; 5) terbangunnya kondisi daerah yang demokratis, santun, beradab serta bermoral tinggi; 6) terbangunnya profesionalisme aparatur yang tinggi untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, bersih berwibawa dan bertanggung jawab yang mampu mendukung pembangunan daerah.

Pencapaian visi pembangunan itu antara lain ditempuh melalui misi mewujudkan pengamalan nilai-nilai agama dan kearifan lokal. Dalam misi itu dijelaskan bahwa “masyarakat yang memiliki basis agama dan nilai-nilai budaya yang kuat membentuk manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermoral, beretika, yang akhirnya mampu berpikir, bersikap, dan bertindak sebagai manusia yang tangguh, kompetitif, berbudi luhur, bertoleransi, bergotong-royong, berjiwa patriotik, menjunjung nilai-nilai luhur budaya bangsa, mengedepankan kearifan lokal, dan selalu berkembang secara dinamis”.

Persoalannya adalah bagaimana mengimplementasikan kearifan lokal untuk membangun masyarakat madani? Walaupun kearifan lokal terdapat dalam kebudayaan lokal yang dijiwai oleh masyarakatnya, namun sejalan dengan perubahan sosial kultural yang demikian cepat kebudayaan lokal yang menyimpan kearifan lokal sebagaimana sinyalemen para ahli sebagian telah tergerus oleh kebudayaan global (Smiers, 2008: 383). Oleh karena itu, perlu ada revitalisasi budaya lokal (kearifan lokal) yang relevan untuk membangun masyarakat madani. Untuk merevitalisasi budaya lokal diperlukan adanya strategi politik kebudayaan dan rekayasa sosial dengan pembuatan dan implementasi kebijakan yang jelas. Salah satu di antaranya adalah adanya peraturan daerah tentang pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan budaya lokal yang dapat menjadi payung hukum dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan budaya oleh dinas-dinas atau lembaga-lembaga terkait.

Ada beberapa langkah strategis yang perlu dilakukan untuk merevitalisasi budaya lokal untuk membangun masyarakat madani berbasis kearifan lokal:

1.   Inventarisasi dan Pengkajian Kearifan Lokal

Tidak semua kearifan lokal yang terdapat dalam budaya lokal telah diketahui oleh masyarakat. Oleh karena itu, dalam membangun masyarakat madani berbasis kearifan lokal perlu dilakukan inventarisasi, dokumentasi, dan pengkajian terhadap budaya lokal untuk menemukan kearifan lokal. Sebagai contoh melalui  pengkajian terhadap cerita rakyat dapat ditemukan kearifan lokal yang relevan untuk membangun masyarakat madani, seperti: sikap-sikap antikejahatan, suka menolong, dan giat membangun (Nasirun, Cikal Bakal Desa Tanggungsari); nilai-nilai patriotisme dan memperjuangkan nasib rakyat; nilai-nilai kepemimpinan yang bertanggung jawab dan menepati janji; nilai kepemimpinan  yang peduli pada daerah dan rakyatnya; nilai demokrasi dengan cara pemilihan kepala desa yang demokratis dan transparan, nilai kejujuran, keikhlasan, dan tanpa pamrih. Selanjutnya, kearifan lokal yang relevan dengan pembangunan masyarakat madani perlu disosialisasikan dan diinternalisasikan kepada masyarakat. 

2.   Pengetahuan Budaya Lokal  sebagai Muatan Lokal

Sosialisasi dan internalisasi kearifan lokal untuk membangun masyarakat madani dapat dilakukan melalui jalur pendidikan formal dalam bentuk muatan lokal. Namun demikian, gagasan untuk memberikan muatan lokal yang berupa pengetahuan budaya (yang di dalamnya terdapat kearifan lokal) dalam pendidikan umum dalam kenyataannya menghadapi kendala yang berkaitan dengan kurikulum dan tenaga pengajarnya. Untuk mengatasi permasalahan ini baik dalam penyediaan bahan pelajaran maupun tenaga pengajarnya dapat diupayakan dan dilegalkan dengan penggunaan tenaga-tenaga nonguru dalam masyarakat yang mempunyai keahlian-keahlian yang khas mengenai berbagai aspek kehidupan yang khas di daerah. Pengetahuan budaya lokal dapat dipilah ke dalam pengetahuan dan ketrampilan bahasa serta pengetahuan dan ketrampilan seni. Selain itu dapat ditambahkan pengetahuan tentang adat-istiadat/ sistem budaya (cultural system) yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai budaya nasional (Sedyawati, 2007: 5), khususnya tentang kearifan lokal yang relevan dengan pembangunan masyarakat madani.

3.   Forum Komunikasi Pemikiran Budaya

Pemerintah daerah tidak harus menyelenggarakan sendiri segala upaya pembangunan masyarakat madani berbasis kearifan lokal. Berbagai elemen masyarakat juga memiliki tugas dalam kegiatan tersebut. Demi tercapainya cita-cita luhur yang harmonis diperlukan berbagai forum dialog. Prakarsa untuk memulai forum ini dapat dilakukan  oleh pemerintah dengan melibatkan elemen-elemen di luar birokrasi pemerintahan seperti lembaga-lembaga kebudayaan dan penyelenggara media massa swasta meliputi radio, televisi, majalah, dan surat kabar. Dalam forum dialog itu perlu dibahas masalah-masalah aktual di bidang kebudayaan yang berkembang di masyarakat,  seperti budaya (lokal) yang menghambat terbentuknya masyarakat madani, pembentukan warga negara Indonesia yang dwibudayawan (lokal dan nasional), mempersiapkan eksekutif yang mampu menghayati nilai-nilai budaya yang luhur, dan lain-lain (Sedyawati, 2007: 6-7).

4.   Festival Budaya Lokal

Unsur-unsur budaya lokal yang berpotensi untuk membangun masyarakat madani dapat dipergelarkan dalam bentuk festival budaya. Sebagai contoh festival seni tradisi, upacara tradisi, dan permainan (dolanan) tradisional anak-anak dapat dijadikan sebagai wahana untuk membangun kesadaran pluralisme, membangun integrasi sosial dalam masyarakat, dan tumbuhnya multikulturalisme.

Langkah-langkah strategis sebagaimana telah diuraikan di atas diharapkan akan membentuk suatu kesadaran kultural (Kartodirdjo, 1994a dan 1994b) yang pada gilirannya akan membentuk ketahanan kultural pada masyarakat. Kesadaran dan ketahanan kultural  menjadi pilar yang sangat kuat untuk membangun masyarakat madani yang berbasis kearifan lokal.    

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa kearifan lokal yang terdapat dalam budaya lokal mengandung nilai-nilai yang relevan dan berguna bagi pembangunan masyarakat madani. Pembangunan masyarakat madani berbasis kearifan lokal dapat dilakukan dengan merevitalisasi budaya lokal. Untuk mewujudkan masyarakat madani berbasis kearifan lokal memerlukan adanya pengertian, pemahaman, kesadaran, kerja sama, dan partisipasi seluruh elemen masyarakat. Drs. Dhanang Respati Puguh, M.Hum.

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2009. “Dari Plural ke Multikultural: Tafsir Antropologi atas Budaya Masyarakat Indonesia”, makalah disampaikan dalam Lokakarya Multikulturalisme dalam Pembangunan di Indonesia, diselenggarakan oleh Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata di Yogyakarta pada 12 Agustus 2009.

Blum, Lawrence A.. 2001. “Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas Antar-Ras” Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural”, dalam L. May, S. Collins-Chobanian, dan K. Wong, editor, Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pedoman Fasilitasi Organisasi Kemasyarakatan Bidang Kebudayaan, Keraton, dan Lembaga Adat dalam Pelestarian dan Pengembangan Budaya Daerah.

Hidayat, Mansur. 2008. “Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani: Telaah Teoritik-Historis”, dalam Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 melalui http://komunitas.wikispaces.com/file/view/ORMAS+KEAGAMAAN+DALAM+PEMBERDAYAAN+POLITIK+MASYARAKAT+MADANI.pdf (dikunjungi 31 Desember 2009).

Kartodirdjo, Sartono. 1994a. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Kartodirdjo, Sartono. 1994b. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media.

Koentjaraningrat, 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Cetakan ke-11. Jakarta: Gramedia.

Koentjaraningrat, 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan ke-6. Jakarta: Aksara Baru.

Legenda dan Kumpulan Cerita Rakyat Kabupaten Brebes, 1988. Panitia Hari Jadi Kabupaten Brebes.

“Masyarakat Madani (Civil Society) dan Pluralitas Agama di Indonesia” http://islamkuno.com/2008/01/16/masyarakat-madani-civil-society-dan-pluralitas-agama-di-indonesia/ (Dikunjungi 31 Desember 2009).

Mawardi J., M.. 2008. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Madani”, dalam Komunitas, Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 melalui http://komunitas.wikispaces.com/file/view/strategi+pengembangan+masyarakat+madani.pdf  (31 Desember 2009).

“Memberdayakan Kearifan Lokal bagi Komunitas Adat Terpencil”,

http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=328 (dikun-jungi 11 Januari 2010).

Peraturan Daerah Kabupaten Brebes Nomor 3 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Brebes Tahun 2005-2005.

Sanaky, Hujair AH, Pembaharuan Pendidikan Islam Menuju Masyarakat Madani (Tinjauan Filosofis)”, http://www.sanaky.com/materi/PENDIDIKAN ISLAM MENUJU MASYARAKAT MADANI.pdf (31 Desember 2009).

Sedyawati, Edi. 2007. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 1 Kebutuhan Membangun Bangsa yang Kuat. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Sedyawati, Edi. 2008. Keindonesiaan dalam Budaya: Buku 2 Dialog Budaya Nasional dan Etnik, Peranan Industri Budaya dan Media Massa, Warisan Budaya dan Pelestarian Dinamis. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Smiers, Joost. 2009. Arts under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi. Terjemahan Umi Haryati. Yogyakarta: Insistpress.

[1]Makalah Disampaikan dalam Sarasehan Peringatan Hari Jadi ke-332 Kabupaten Brebes Tahun 2010 di Pendapa Kabupaten Brebes, 13 Januari 2010, dan sebagian telah diterbitkan dengan judul “Membangun Masyarakat Madani Berbasis Kearifan Lokal”, Radar Tegal, 13 Januari 2010.

[2]Dosen Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dan Sekretaris Program Magister Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro. Komunikasi dan korespondensi dapat dilakukan melalui HP dengan nomor: 081390794224 dan email: dhanang_puguh@yahoo.com.

[3]Edi Sedyawati (2007 dan 2008: vi) menyatakan bahwa penggunaan istilah budaya daerah untuk menyebut budaya suku-suku bangsa di Indonesia adalah tidak tepat, karena kata “daerah” mengesankan lawan dari “pusat”. Padahal di sini yang diperbedakan adalah budaya bangsa (= nasional) dan budaya suku bangsa. Budaya  nasional tentunya tidak dapat disamaartikan dengan budaya pusat, karena ia juga merupakan budaya seluruh bangsa Indonesia, baik di pusat maupun di daerah. Lagi pula suatu budaya suku bangsa tidak dapat dikaitkan secara mutlak dengan satuan daerah administratif, karena ada sejumlah suku bangsa  yang tinggal menyebar melintasi batas-batas administratif.