Gaok merupakan kesenian jenis mamaos
(membaca teks) atau disebut juga wawacan, dari kata wawar ka nu acan (memberi tahu kepada yang belum mengetahui), yang
disuguhkan untuk keperluan ritual atau upacara adat ‘ngayun’ (acara seminggu
kelahiran bayi). Kata gaok berasal dari kata “gorowok” artinya berteriak,
karena gaok dibawakan dengan cara
dinyanyikan dengan suara yang keras atau dengan nada tinggi.
Gaok dibawakan dengan cara memaparkan cerita babad tanpa iringan musik.
Jika sekarang terdapat penambahan alat musik, itu hanya digunakan sebagai
pembuka saja, tidak digunakan untuk mengiringi mamaos / gaok secara
keseluruhan. Sering alat musik digunakan hanya sebagai jeda saja.
Berkembang
di Majaléngka sejak masa peme-rintahan Pangéran Muhammad,
yaitu pada abad ke-15. Diprediksi bahwa gaok merupakan media dakwah Islam
sebelum masyarakat mengenal budaya baca. Kesenian ini mengalami sinkritisme
antara nilai-nilai budaya etnis Sunda dengan budaya Islam yang datang dari Cirebon. Artinya ada
pencampuran antara nilai budaya Sunda dengan nilai budaya Islam. Misalnya,
pertunjukan dimulai dengan ucapan basmallah, namun bahasa yang digunakan
kemudian adalah bahasa Sunda.
Tokoh yang berperan mengembangkan
kesenian gaok antaranya adalah Sabda
Wangsaharja sekitar tahun 1920-an.
Beliau berdomisili di Kulur, Majaléngka.
Gaok dimainkan oleh empat sampai enam
orang pemain yang semuanya berjenis kelamin laki-laki. Baju yang digunakan
adalah baju kampret atau toro, lengkap dengan ikat kepala.
Pertunjukan dipimpin oleh seorang
dalang / pangrawit, dan pemain lainnya berperan sebagai juru mamaos. Selain
sebagai juru mamaos, setiap pemain memegang sebuah alat musik atau waditra yang
sangat sederhana, semuanya terbuat dari bambu, yaitu berupa kecrek, gendang
bambu atau dapat juga digunakan buyung, dan gong bambu yang dibunyikan dengan cara ditiup. Penambahan waditra pada kesenian gaok
ini sebenarnya hanya upaya diversifikasi saja, karena secara original gaok
tidak diiringi musik.
Karena sudah dilengkapi alat musik,
maka tata urutannya sebagai berikut :
1.
Tatalu, atau tabuhan pra pertunjukan
2.
Lalaguan, antara lain lagu-lagu pupujian,
dan
3.
Pertunjukan, berisi cerita babad, cerita
rakyat (dongeng), dsb.
Pada tahap pertunjukan, dalang
membacakan larik-larik naskah yang kemudian setiap larik yang dibacakan itu
dinyanyikan oleh juru mamos secara bergantian. Jenis lagu bersumber dari pupuh
yang berjumlah 17. Namun lebih banyak menyanyikan lagu-lagu Ageung, yaitu
Kinanti, Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula.
Cerita dalam pergelaran seni
Gaok di antaranya adalah : Cerita Umar Maya, Sulanjana, Barjah, Sarmun,
dsb. Bahan cerita Gaok kini ada yang sudah ditulis, antaranya Nyi Rambutkasih dan Talagamanggung, keduanya ditulis oleh E. Wangsadihardja
(alm.).
Kesenian Gaok saat ini merupakan salah
satu kesenian yang langka di Majaléngka dan memerlukan perhatian yang serius
dalam pembinaannya. Dalam hal ini perlu adanya upaya regenerasi melalui
pendidikan kesenian, baik praktis maupun apresiasi.
Gaok yang hidup di Majaléngka
sekarang tercatat hanya dua grup saja, yaitu di Désa Kulur
dan di Burujul. Di
Désa Kulur,
pelestarian kesenian gaok dilakukan oleh E. Wangsadihardja.
Setelah beliau meninggal pada tahun 2006, kesenian Gaok dilanjutkan oleh para
penerusnya, yaitu Sukarta dkk.
Banyak pemikiran yang terlontar agar kemudian Gaok ditampilkan dengan pembaharuan-pembaharuan, misalnya pembaharuan dalam pemain dan teknik memainkannya. Nono Sudarmono melalui Tesis-nya mencoba mengangkat Gaok dengan lontaran idea kolaborasi, yakni pertunjukan gaok dengan iringan alat musik yang lebih dinamis, serta dimainkan dengan cara berdiri, menari, atau menyertakan adegan drama. Ide ini kemudian dikembangkan oleh Sanggar Seni Panghegar yang mencoba menampilkan Gaok Kolaborasi, dan sempat dipertunjukkan di Gasibu Bandung beberapa waktu yang lalu. Pertunjukan itu sendiri mendapat sambutan hangat dan bagi sebagian pihak ini merupakan upaya positip guna menghidupkan kembali Gaok di tengah alam globalisasi sekarang ini.
Semoga!
0 komentar:
Posting Komentar