SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

SENI ADALAH PERILAKU HIDUP

Bersama Seni Aku Lalui Waktu.

Jumat, 14 Desember 2012

WAYANG KULIT PURWA DI MAJALENGKA

A. Tinjauan Historis 

Wayang kulit telah ada sejak masa pemerintahan Sri Maharaja Lokapala Hariwangsa Tunggadewa. Ini diketahui dari prasasti yang dikeluarkan tahun 840 M. Prasasti lainnya yang menyebut adanya wayang kulit adalah prasasti yang berangka tahun 907 ketika Diah Balitung memerintah Mataram I. Di Jawa, wayang kulit dikenal masyarakat pada masa pemerintahan Raja Airlangga sekitar abad XI. Pada masa pemerintahan Raden Fatah (Demak) wayang kulit pernah dilarang, karena wajahnya seperti manusia.
Agar wayang tetap hidup, para wali bersepakat membuat bentunya yang baru, terbuat dari kulit yang sangat sederhana. Sunan Kalijaga kemudian mengusulkan agar wayang kulit menjadi media syiar Islam. Di samping itu bertujuan untuk menghilangkan kepercayaan kepada dewa-dewa dalam agama Hindu. Karakteristik tokoh pendeta yang ada pada Mahabarata dirubah, sehingga masyarakat beralih pandang dan bersedia masuk agama Islam.
Seiring dengan upaya penyebaran agama Islam, wayang kulit masuk ke wilayah Cirebon dan sekitarnya. Imbas dari penyebaran agama Islam melalui Cirebon itu akhirnya sampai juga di wilayah Majaléngka, dan berkembang pesat pada tahun 1960-an. Wayang kulit yang berkembang di Majaléngka terutama tersebar di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan Cirebon dan Indramayu, seperti Jatitujuh, Jatiwangi, dan Sumberjaya.
Terdapat beberapa pebedaan antara wayang kulit yang berkembang di Cirebon dan sekitarnya dengan wayang kulit di Yogyakarta, antaranya :
1. Bentuk tokoh lakon Mahabarata dan Ramayana yang berkembang di Cirebon dan sekitarnya cenderung sama dengan yang berkembang di Demak.
2. Tokoh panakawan di wilayah Cirebon, Indramayu dan Majalengka terdapat 9, yaitu Semar, Gareng, Dawala, Sekarpandan, Bagong (Astrajingga), Cungkring, Bitarita, Ceblok, dan Bagalbuntung. Sedangkan di Yogyakarta hanya empat, yaitu Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Perkembangan wayang kulit di Majaléngka tidak bisa lepas dari nama Sunan Kalijaga dengan sebutan Pangéran Panggung sebagai cikal bakalnya.
Di bawah adalah tokoh-tokoh yang berperan dalam mengembangkan wayang kulit.
1. Pangéran Panggung (Sunan Kalijaga)
2. Pangéran Canggah Kawi
3. Pangéran Surapringga
4. Kidar
5. Kintan
6. Kaca
7. Gunteng (Gendut)
8. Keling (Karep), yang satu ini merupakan dalang Keraton Kasepuhan Cirebon. Ia juga mendapat julukan Ngabei Kertaswara atau Embah Bei.
9. Patut
10. Candra / Suwati
11. Supena
12. Dana
13. Suta
14. Karma Al HB

B. Waditra dan Tata Cara Pertunjukan 

 Pergelaran wayang kulit biasanya menggunakan layar atau kain putih membentang di bagian depan panggung. Di belakang layar dipasang lampu blencong (dalung), penonton dapat melihat bayangan wayang kulit di layar bagian depan ketika wayang kulit dimainkan.
Waditra pengiring wayang kulit adalah seperangkat gamelan berlaras pelog yang terdiri dari : gendang, kulanter, bedug, saron, peking, selentem, gong, kempul, panerus, kenong, jengglong, ketuk, gambang, kecrek, kamanak, dan suling.
Adapun personil pergelaran wayang kulit adalah dalang, pemain gamelan (nayaga), sinden, alok, dan catrik (pembantu dalang).
Sebelum pergelaran dimulai, dalang membakar dupa dan membacakan do’a, memohon lindungan dari Tuhan Yang Mahakuasa dan restu dari para ‘karuhun’, agar diberi kekuatan, kecemerlangan berpikir, kefasihan berbicara, dan terutama sekali, keselamatan pertunjukan sejak awal sampai akhir.
Dalam praktiknya, selain sebagai tontonan, wayang kulit juga befungsi sakral, sering dimainkan dalam acara-acara upacara adat, seperti Muludan, Mapag Sri, dan Ngaruat. Untuk keperluan upacara adat, biasanya diperlukan pelengkap berupa sesajian, berupa rujak dan makanan lainnya. Waktu Pabrik Gula Kadipaten masih aktif, wayang kulit menjadi salah satu hiburan wajib yang dipertunjukkan di salah satu sudut lokasi pabrik. Di beberapa tempat, misalnya di Sidamukti, wayang kulit masih sering digelar terutama untuk acara ngaruat. Di Karayunan dan di beberapa daerah di wilayah utara Majaléngka, wayang kulit masih memiliki banyak penggemar.

C. Prospek dan Pembinaan 

 Dalam sebuah kesempatan wawancara, Sukarta, salah seorang tokoh pedalangan wayang kulit purwa di Majaléngka mengemukakan harapan, bahwa seyogyanya wayang kulit kembali ‘dihidupkan’. Ia berpendapat, sebenarnya sebagian besar masyarakat Majaléngka menggemari wayang kulit. Kuncinya adalah adanya perhatian dari pemerintah daerah terhadap kesenian wayang kulit. Misalnya dengan menganjurkan kembali pelaksanaan upacara adat yang di beberapa tempat sudah mulai ditinggalkan.
Upacara adat seperti muka tanah, mapag sri (saat mau panén), dsb. minimal membutuhkan pertunjukan wayang kulit, walau hanya untuk satu kali dalam satu tahun. Daerah yang masih melakukan upacara adat demikian adalah Sidamukti dan Ligung. Di dua daerah ini wayang kulit masih dibutuhkan.
Pembinaan yang dilakukan antara lain melaksanakan pergelaran secara berkala, atau melaksanakan ajang binojakrama seperti yang pernah dilakukan pada bulan Juni tahun 2007. Dari ajang tersebut diketahui, ternyata di Majaléngka potensi pedalangan wayang kulit masih cukup baik.
Berikut beberapa dalang dan nama grupnya yang masih eksis di Majaléngka :
1. Renda, Ringgit Purwa, di Cicurug, Majaléngka.
2. Sukarta, Panggelar Budi, di Bongas, Sumber Jaya (Juara Umum Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit se-Jawa Barat tahun 1993).
3. Eye Rosdiana, Panca Darma, Sindangwasa, Palasah (Juara 1 Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit se-Jawa Barat tahun 1995).
4. Eman di Cicurug, Majalengka
5. Yono Dana Muda, Gaya Mekar, di Ranji, Dawuan
6. Edi Permana, Sri Sejati, di Balida, Dawuan (Juara II Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit 2007 di Majaléngka)
7. Parta Suwandana. Gaya Pribadi, di Loji, Palasah
8. Oong Kertaswara, Pancaroba, di Balida, Dawuan
9. Ita Karwita, di Randegan, Jatitujuh (Juara III Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit 2007)
10. Waskita, di Iser, Leuwimunding (Juara I Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit 2007 di Majaléngka)
11. Anom Suhadi, di Jatitengah, Jatitujuh (masih berusia 15 tahun, tercatat sebagai peserta termuda Binojakrama Pedalangan Wayang Kulit 2007 di Majaléngka).

Kamis, 13 Desember 2012

SANDIWARA SUNDA DI MAJALENGKA


            
PENGANTAR
 
Sandiwara Sunda di Majaléngka berkembang sejak awal tahun 1930-an. Seni pertunjukan berbentuk teater ini digemari oleh semua lapisan masyarakat pada waktu itu.
            Beberapa perkumpulan atau grup kesenian sandiwara Sunda pernah berdiri, antara lain di Jatiwangi (Mirah Delima, Medal Kawangi, Kutawaringin),  Majaléngka (Budaya Sunda), Dawuan (Gaya Remaja). Di Darmalarang, Malongpong, Munjul, dan Karayunan pun pernah pula berdiri beberapa kelompok sandiwara.
            Himpunan Barudak (HB) adalah kelompok sandiwara yang pertama kali berdiri di wilayah Majaléngka. Kelompok ini dipimpin oleh Karma Al Habe dari Gandu Kecamatan Dawuan. Pada perkembangan selanjutnya kelompok ini mengganti nama menjadi Gaya Remaja dan bermarkas di Kasokandel.
            Pada tahun 1960 sampai tahun 1980-an di Kadipaten dan Majaléngka pernah berdiri gedung-gedung pertunjukan Sandiwara. Gedung pertunjukan yang pernah berdiri di Kadipaten bernama Serbaguna. Beberapa kelompok sandiwara yang melakukan pertunjukan di gedung ini antaranya adalah Galih Pakuan pimpinan Safaat Suwanda, Budaya Sunda pimpinan Kida, dan Sinar Galih pimpinan Aji Somara. Di Jatiwangi juga pernah berdiri gedung kesenian Mustika Budaya. Selain manggung di gedung-gedung pertunjukan dan memenuhi permintaan hiburan hajatan atau event khusus, kelompok-kelompok sandiwara itu ada yang melakukan pertunjukan secara ngubung, yaitu pertunjukan di beberapa tempat secara berpindah-pindah, misalnya di Munjul, Kapur, Apuy, dan beberapa tempat lainnya. Seperti halnya pertunjukan di gedung kesenian, penonton yang datang di tempat ngubung juga ditarik bayaran.
            Masa emas sandiwara Sunda di wilayah Majaléngka bertahan sampai akhir tahun 1984. Setelah itu nasibnya tersingkirkan dengan kedatangan hiburan lain berupa pertunjukan film bioskop dan layar tancap serta maraknya perkembangan televisi.
            Gedung Serbaguna di Kadipaten kemudian berubah fungsi menjadi gedung bioskop. Gedung Mustika Budaya di Jatiwangi berubah fungsi menjadi gudang pupuk, dan sekarang menjadi pertokoan. Tempat ngubung pun satu-persatu hilang.
            Walaupun demikian upaya survive tetap dilakukan. Gaya Remaja di Dawuan dan Medal Kawangi di Palasah hingga sekarang masih berdiri, walaupun  frekuensi pertunjukan sudah sangat jarang. Bahkan beberapa perkumpulan yang relatif baru pun berdiri di beberapa tempat, antara lain Candra Kirana pimpinan H. HR Affendi di Ampel, Ligung, dan Putra Remaja pimpinan S. Aripin di Pagandon.
            Beberapa tokoh sandiwara Sunda di Majaléngka antara lain : Karma Al Habe, Hj. Mimi Karwati, Komar Sonjaya, Tatang Riyana, Mih Atin, Agod, Ayi, Hayo Haryono, Toto Subrata, Otong Ruslan, Dudung Durahman, Jumali, Juned, Odri (Wa Agod), Ratnanengsih (Ma Ala), Toto Batara, S. Aripin, HR Affendi, dll.

           
UNSUR CERITA SANDIWARA
 
Terdapat beberapa jenis cerita yang diangkat dalam pertunjukan sandiwara, yaitu cerita pantun, cerita Mahabarata dalam bentuk wayang orang, cerita babad, dan cerita desik. Cerita pantun antara lain Lutung Kasarung, Sangkuriang, dll. Cerita wayang antara lain Arjunawiwaha, Bangbang Kombayana, dll. Cerita babad di antaranya Dewi Roro Kidul dan Hayam Wuruk, Damar Wulan, Ciung Wanara, dan Suryaningrat. Cerita desik diambil dari cerita seribu satu malam, antaranya adalah Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dll.
            Di wilayah Majaléngka, cerita yang sering ditampilkan adalah cerita pantun dan cerita babad.

UNSUR BAHASA, DRAMA, TARI, SUARA,  DAN  RUPA

   Bahasa dan sastra menyangkut penggunaan bahasa dan ungkapan dalam pertunjukan sandiwara. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan sandiwara adalah bahasa Sunda berbentuk prosa, namun di sana-sini terdapat banyak sekali ungkapan-ungkapan yang puitis.

   Unsur drama menyangkut pemeranan dalam pertunjukan sandiwara, misalnya raja, permaisuri, patih, dll. Setiap pemeran melakukan dialog satu sama lain dan terlibat dalam konflik yang dibangun. Di dalam pemeranan, ada yang disebut pemeran utama dan pemeran pembantu.
         Pemeran utama wanita dalam pertunjukan sandiwara dikenal dengan sebutan sripanggung. Mimi Karwati, Nanah Hasanah, adalah dua orang sosok sripanggung yang sangat dikenal pada masanya.

  Unsur tari tersaji untuk cerita-cerita pantun, cerita wayang, dan cerita babad. Hampir semua pemain sandiwara mampu menari, dengan karakter tarian sesuai dengan peran masing-masing pemain.

      Seni suara tersaji dalam bentuk nyanyian yang dibawakan oleh sinden dan penabuh gamelan. Seperti halnya pertunjukan wayang, setiap adegan memiliki karakter lagu dan jenis tabuhan tertentu.

      Seni rupa muncul dalam bentuk artistik latar belakang panggung berupa layar-layar yang dibentang, dan digulung ke atas jika tidak sedang dipakai. Setiap layar digambar sesuai karakter bagian cerita atau adegan, misalnya layar putih, layar merah, gambar kadipaten, gambar kaputren, keraton, taman sari, hutan, dll.

             
TATA CARA PERTUNJUKAN
 
Pertunjukan sandiwara, yang dimainkan tanpa skenario tertulis, terdiri atas beberapa adegan atau disebut juga bedrip. Para pemain yang masuk pada setiap adegan menarikan tarian sesuai karakter yang dibawakannya.
            Seperti halnya pertunjukan teater, alur cerita biasanya terdiri atas pengenalan – konflik – klimaks – penyelesaian.

        
PROSPEK DAN PEMBINAAN
 
Sandiwara Sunda kini menghadapi masa yang amat sulit. Perkembangan teknologi informasi yang menyajikan berbagai fenomena dunia yang semakin mudah, semakin mempersempit ruang gerak sandiwara Sunda untuk tetap eksis. Jika di beberapa tempat di Majaléngka masih terdapat grup Sandiwara yang masih hidup, adalah karena generasi pemain Sandiwara masih mencoba menghidupi kesenian yang satu ini, walaupun tidak menjanjikan mampu menghidupi dirinya sendiri melalui kesenian yang dikembangkannya ini.
      Prospek yang paling mungkin adalah upaya pelestarian kesenian yang semakin tersudut ini melalui upaya-upaya :
1.      Regenerasi, berupa pelatihan pengetahuan dan pemeranan sandiwara kepada generasi muda.
2.   Penulisan naskah drama baik berupa bagal cerita, cerita utuh, maupun berupa skenario, sehingga sandiwara dapat dimainkan oleh para pemula.
3.     Adanya upaya pembaharuan dari para pelaku sandiwara Sunda, sehingga sandiwara tampil dengan bentuk baru namun tidak meningalkan khas tradisionalnya. Dengan upaya pembaharuan itu, sandiwara Sunda akan mampu bersaing dengan tontonan lain yang marak berkembang di Majaléngka.
Pembaharuan itu misalnya dalam olah cerita, teknik pemeranan, gending, dan sebagainya. Boleh jadi campursari yang berkembang di wilayah Jawa Tengah menjadi contoh yang baik dari sebuah upaya pembaharuan.
4.  Perhatian serius dari pemerintah untuk tetap memberikan kehidupan kepada kesenian sandi-
     diwara Sunda, baik berupa pementasan rutin, maupun subsidi dengan teknis-teknis tertentu.

Rabu, 05 Desember 2012

PERKEMBANGAN SENI PANTUN DI MAJALENGKA



A.     Tinjauan Historis
              Kesenian pantun merupakan kesenian tradisional yang didukung oleh seni sastra dan seni karawitan. Jakon Sumardjo (2003) menyebut pantun sebagai seni pertunjukan dengan jenis teater tutur. Disebut teater tutur karena pertunjukan pantun hanya dilakukan oleh seorang pencerita yang mengisahkan sebuah lakon atau hanya ungkapan liris, dalam bentuk bercerita dan atau dinyanyikan. Selama penceritaan berlangsung juru pantun menggunakan kecapi sebagai alat pengiring.
            Diperkirakan pantun hidup di wilayah Jawa Barat sejak tahun 1514 M, sebagaimana tercatat dalam Siksakandang Karesian yaitu sebuah kitab tertua yang pernah ditulis pada jaman Kerajaan Pajajaran. Inti cerita pantun adalah sekitar kehidupan kerajaan (Pajajaran) dan pengembangan wilayahnya, yakni kisah penaklukan kerajaan-kerajaan di sekitarnya, dan atau kisah lain yang masih berhubungan dengan kepentingan Kerajaan Pajajaran.
            Wilayah Majaléngka, sebagai salah satu bagian dari wilayah Jawa Barat, tentu saja memiliki sejarahnya tersendiri dalam hal kesenian pantun ini. Oom Somara de Uci, salah seorang budayawan Majaléngka, menyebut bahwa kesenian pantun di Majaléngka sudah hidup sejak jaman Majaléngka dipimpin oleh Ratu Rambutkasih, waktu itu Majaléngka masih bernama Sindangkasih. Kecapi merupakan koleksi alat kesenian yang dimiliki oleh Sang Ratu. Meskipun demikian, Ajip Rosidi yang pernah merekam cerita-cerita pantun dan kemudian membuat transkripsinya, mengatakan bahwa di Majaléngka tidak ada kesenian pantun. Bisa jadi waktu itu Ajip Rosidi belum melakukan penelitian yang lebih jauh tentang keberadaan pantun di Majaléngka.
            Sebagaimana halnya di daerah lain di Jawa Barat, kesenian pantun di Majaléngka mengalami masa keemasan pada tahun 1950-1960-an. Beberapa nama di bawah ini merupakan juru pantun yang pernah meramaikan pertunjukan pantun di Majaléngka, antara lain :
  1. Ki Saein dari Tonjong
  2. Sidik dari Bantarjati
  3. Warwa dari Jatitujuh
  4. Maun dari Pasir, Palasah
  5. Nadi dari Kutamanggu
  6. Baedi dari Kadipaten
  7. Kusma dari Kadipaten

B. Waditra dan Tata Cara Pertunjukan
           Waditra yang digunakan dalam pergelaran pantun adalah kecapi. Jurupantun memainkan kecapi sendiri sepanjang cerita yang dibawakannya.
            Cerita pantun dimulai dengan  :
  1. Rajah Pamunah,
  2. Mangkat carita,
  3. Nataan karajaan dan para tokoh cerita,
  4. Bercerita
  5. Rajah Pamungkas atau Rajah Penutup.
            Cerita pantun yang terkenal antara lain Mundinglaya di Kusumah, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Nyi Sumur Bandung, Sulanjana, Panggung Karaton, Demung Kalagan, dan sebagainya. Berdasarkan transkripsi Ajip Rosidi, Jakob Sumardjo mencatat ada 32 judul cerita pantun.
            Pada umumnya pantun dipertunjukan untuk acara-acara sakral seperti upacara ruat (ngaruat), namun kadang ramai juga dipertunjukan dalam acara khitanan atau perkawinan. Pertunjukan selalu dilaksanakan pada malam hari.

C. Prospek dan Pembinaan
Di sebagian wilayah Majalengka, kesenian pantun masih diminati, namun frekuensinya sudah sangat berkurang. Kini hanya tercatat tiga orang juru pantun saja yang masih hidup, yaitu Cecep di Palasah, Rasim di Mandapa, dan Iwan Ompong di Dawuan. Cecep yang tuna netra bahkan tidak lagi melakukan aktivitasnya sebagai juru pantun. Usianya sudah sangat uzur.
            Prospek kesenian pantun agaknya mengalami hal yang amat sulit. Generasi muda semakin tidak mengenal jenis kesenian yang satu ini. Pembinaan kiranya dapat dilakukan lewat upaya pengenalan pantun melalui institusi sekolah atau pertunjukan rutin di masyarakat. Setidaknya, kesenian pantun pernah dikenal masyarakat, bukan hanya melalui tuturan guru di sekolah, akan tetapi melalui pengalaman menyaksikan atau apresiasi.