Berawal
dari munculnya sebuah permainan yang dinamakan ujungan, yaitu permainan anak-anak gembala di daerah Cibodas,
sebuah désa di Majaléngka bagian Selatan.
Sambil menggembalakan ternaknya, mereka melakukan sebuah permainan saling
memukul dengan menggunakan seutas tongkat pemukul.
Permainan ujungan kemudian
berkembang menjadi permainan orang dewasa, dan untuk menghindari luka di bagian
kepala, digunakan teregos semacam
helm pengaman pada permainan tinju amatir. Pengaman bagian kepala itu dinamakan balakutak. Pemain wajib menggunakan
pengaman karena pukulan diarahkan ke seluruh bagian tubuh, termasuk kepala.
Permainan ujungan yang
pukulannya diarahkan ke seluruh bagian tubuh ini kemudian dianggap sangat
berbahaya. Pada waktu itu mémang banyak sekali korban akibat pukulan yang
membabi buta. Orang yang tidak punya cukup kesaktian dan kekuatan, akan dibuat
pingsan karenanya. Oleh karena itu, para tokoh permainan ujungan mencoba
membuat penyederhanaan dan membuat peraturan permainan.
Muncullah kemudian permainan
yang disebut sampyong, yakni sebuah
permainan ‘penyederhanaan’ dari permainan ujungan. Kini bentuknya bukan lagi
sebuah permainan, namun lebih menyerupai seni pertunjukan karena selama
permainan berlangsung diiringi musik kendang pencak. Para pemainnya
mempertunjukkan jurus-jurus pencak silat dan memamerkan kebolehannya dalam
ibing pencak.
Adapun peraturan permainan yang
ditetapkan adalah :
1.
Seorang pemain hanya diperkenankan
memukul sebanyak tiga kali.
2.
Sasaran pukulan hanya sebatas kaki
bagian bawah, atau betis bagian belakang,
3.
Pemain diperkenankan main sesuai dengan
kelas yang dimilikinya, misalnya tua atau muda, dsb.
Kata sampyong berasal dari kata sam dan pyong (Bhs. Cina) artinya memukul tiga kali. Artinya pemain
diizinkan memukul sebanyak tiga kali pukulan.
Pada praktiknya kesenian
sampyong dipimpin oleh seorang malandang
yang berdiri selaku wasit dan mengatur jalannya permainan. Selama memimpin
pertandingan, malandang melakukan gerak-gerak ibing pencak silat, dan
memberikan aba-aba “Biluuuk!” kepada
para pemain. Jika mendengar kata biluk
diteriakkan, maka pemain siap memukul dan siap pula dipukul, sesuai dengan
giliran masing-masing.
Waditra pengiring sampyong adalah
seperangkat gamelan pencak silat, terdiri atas dua set gendang, kulanter,
kempul, dan terompet sebagai alat musik melodisnya.
Sebagai sebuah seni pertunjukan,
sampyong sering dihidangkan untuk menghibur dalam acara-acara tertentu. Pada
tahun 1970-an sampyong dihidangkan dalam acara hajatan, namun lebih sering
dipertunjukkan pada acara seremonial tertentu.
Tatacara pertunjukannya adalah
sebagai berikut :
1.
Seluruh
peserta memasuki arena, dipimpin oleh seorang wasit (malandang),
melakukan penghormatan kepada penonton dengan iringan lagu Golempang.
2.
Pertunjukan eksibisi, dimainkan oleh
dua orang tokoh sampyong, sebagai pertunjukan pembuka.
3.
Pertunjukan utama, pemain saling
berhadapan menurut gilirannya masing-masing.
Tokoh-tokoh sampyong yang berjasa
mengem-bangkan sampyong sebagai kesenian asli Majaléngka adalah Abah Sanen,
Abah lewo, Mang Kiyun, Mang Karta, K. Almawi, Baron, Toto, Komar, Anah, Emin,
dan masih banyak lagi yang lainnya. Kelompok Sampyong Mekar Padesan pimpinan K. Almawi pernah main di Taman Mini
Indonesia Indah, Taman Budaya Bandung, dan di Bali.
Sampyong sebagai kesenian
tradisional tersebar di beberapa wilayah, antara lain di Simpeureum, Cigasong,
Cibodas, Kulur, Sindangkasih, Cijati, Jatipamor, Pasirmuncang, dan beberapa
daerah lain.
Upaya pembinaan perlu dilakukan
dengan cara regenerasi, agar kesenian sampyong tetap eksis meramaikan khasanah
kesenian tradisional di Majaléngka.
0 komentar:
Posting Komentar