Sahabat, aku hanya sekedar ingin berbagai rasa. Ketika keharuan
muncul saat opening Pameran Seni Rupa bertema “Looking For Step” di
Majalengka, hanya rasa yang kemudian mengantarkan aku ke ranah
kebahagiaan hakiki. Padahal, sejak awal aku tidak pernah merasa pasti
bahwa istilah “cinta” dapat dipercaya. Kini aku percaya. Keywordnya
adalah “kebersamaan”. Lain tidak.
|
Mengintip Hidup, lukisan di atas kanvas, karya Eded Harto, Majalengka |
Aku hadir di sini bak segugus
nyawa mencari tubuh yang utuh. Bahkan aku hidup di ranah yang berbeda
dengan peminatan awal yang berbeda pula. Aku datang dari keluaga
berstandar tradisional, karena sejak kecil kiliningan adalah makanan
mata dan telingaku. Sandiwara Sunda yang dilakoni bapakku dahulu adalah
santapan ketika aku harus terpaksa tidur di bawah panggung. Maka aku
terbentuk dari dunia tradisi yang melembaga menjadi rasa dan jiwa.
Menghantar aku menapaki usia dewasa, menatap luas dunia. Menatap luas
dunia!
Kesadaran membangunkanku. Ruang dan waktu memberiku
kesempatan mengenali apa arti kehidupan, meski dengan langkah
tertatih-tatih dan tak kunjung menemukan arah pasti. Dunia seniku
sebatas yang sempat aku baca, khasanah budaya hanya sekedar apa yang
pernah aku lihat, sementara aku berada dalam belenggu rutinitas dalam
posisiku sebagai pegawai pemerintah rendahan.
|
Hegar Parangina, anakku, hidup seru di dunia karawitan Sunda |
|
Uang, Lukisan di atas kanvas, karya Eded Harto, Majalengka |
Tidak banyak yang
aku tahu, kecuali pergerakan-pergerakan kecil yang melintas bebas di
depan mataku. Namun itu pun hanya sedikit saja memberi pengalaman. O,
betapa banyak yang harus aku dapat. Betapa banyak yang kurasa aku masih
gelap gulita.Ternyata aku masih butuh banyak waktu untuk menemukan
bentuk. Aku belum menjadi apa-apa dibanding kalian yang lebih dahulu
bergerak di depanku atau kalian yang diam-diam bergerak di belakangku.
Kesadaran membangunkanku. Di sini, ruang memberi nyawa lebih banyak.
Tawa renyah lebih menyiratkan kebahagiaan abadi ketimbang berdiri di
belakang dengan laku “seolah-olah”. Maka aku gauli kalian seperti
kalian adalah pacarku selamanya. Maka raihlah pula tanganku, dan kuraih
tanganmu. Jabat erat ini untuk tetap bergandengan. Tidak hanya berdua,
namun bertiga, berempat, dan lebih banyak lagi. Dalam kurun waktu
sebentar saja kenikmatan datang menyentuh labirin rasaku. Cinta pun
rekah menjadi aroma kebersamaan abadi. Kuncinya hanya sekedar menerima
apa adanya. Tidak berdiri dalam keangkuhan semata. Kita sama, Bung,
demikian seorang dari kalian berkata. Dan aku satuju.
Bahwa
hakikat hidup adalah saling menitipkan diri. Aku butuh kau, kau butuh
aku. Aku butuh mereka, mereka butuh aku. Kalian butuh mereka, mereka
juga butuh kalian. Saling silang. Saling melengkapi. Dan makna pun
terjadi. Hakikat itu menjelma menjadi nyata di depan mataku sendiri, di
sini, di arena pentas dengan alunan kolaborasi rasa yang padu. Aku yang
datang dari ranah antah berantah, luruh dalam sapuan kuas para perupa
yang perkasa. Pengakuanpun muncul tiba-tiba, ternyata : indah pula yang
namanya kebersamaan!***