(Sebuah Catatan Apresiatif setelah bermukim 3 minggu di Adelaide, Australia Selatan)
Wilayah bagian Selatan bumi yang bernama Australia, tepatnya kota Adelaide, ini telah memberikan banyak informasi tentang berbagai hal, khususnya
bagaimana menjalani kehidupan ini secara kondusif, tidak hanya kehidupan
pribadi tetapi juga kehidupan sosial secara keseluruhan. Jika kemudian muncul
pemikiran untuk mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari di tanah air,
kiranya bukanlah hal yang mustahil, karena yang dialami saat itu bukan sebuah
mimpi.
Masih tertanam kuat di dalam benak, bagaimana
‘kami’, para peserta pelatihan guru profesional dari Jawa Barat, berperan
sebagai penduduk Adelaide,
meskipun hanya dalam waktu tiga minggu (27 Mei – 18 Juni 2012).
Pengalaman menjadi ‘penghuni’
Adelaide, Australia Selatan selama tiga minggu memberikan dampak positip bagi
perubahan sikap dan pemikiran. Bermukim dengan penduduk dan berkomunikasi
sebagaimana mereka (penduduk
setempat) lakukan. Sejenak kami harus melupakan cara
kami berkomunikasi di Indonesia. Bahasa Inggris tentu saja menjadi modal utama,
namun bahasa isyarat seringkali menjadi useful assistant ketika kami mengalami kesulitan berkomunikasi.
Masalah lafal bahasa Inggris orang Australia yang agak berbeda menyebabkan
kendala yang cukup berarti ketika kami mencoba memahami tuturan yang mereka
ucapkan. Membutuhkan waktu yang lama ternyata untuk bisa mengimbangi lafal
spesifik orang Australia.
Sambil merasakan cuaca dingin yang
cukup ekstrem, setiap pagi kami menyusuri jalanan sepi menuju halte busway atau
stasiun kereta api. Bergabung bersama penduduk setempat di dalam busway dan kareta
api atau trem, menuju tempat tujuan masing-masing. Pada saat-saat tertentu kami
harus berjalan bersicepat mengimbangi langkah-langkah orang-orang setempat yang
sepertinya tidak pernah membiarkan waktu berjalan sia-sia.
Keseharian kami selama berada di
Adelaide adalah keseharian yang penuh daya apresiatif. Seperti tidak ada
hentinya kami mengagumi kecenderungan setiap orang yang selalu mencoba
menghargai privasi masing-masing. Tidak ada istilah saling mengganggu, iseng,
dan sebagainya. Jangankan penghargaan terhadap privasi manusia, bahkan privasi
binatang pun mendapat tempat yang sama layaknya dengan manusia. Maka tidaklah
mengherankan jika sewaktu-waktu satu atau dua orang berjalan-jalan menelusuri
trotoar ditemani seekor anjing. Bahkan di tempat cuci mobil disediakan pula
jasa cuci binatang peliharaan. Di tempat-tempat terbuka, di halaman rumah, di
pepohonan, di sungai, atau di taman-taman kota yang banyak jumlahnya,
didapatkan berbagai jenis unggas, seperti angsa, bebek, dan burung yang bebas
hidup tanpa takut diganggu manusia. Artinya bahwa binatang pun memiliki hak
hidup sesuai privasi yang dimilikinya.
Glamour
kota besar memang sangat terasa, terutama jika kita berada di tengah hirup
pikuk orang-orang di pusat kota. Di sepanjang North Terrace, South
Terrace, William King
St., Taman Victoria, dan di hampir semua bagian kota, nuansa modern sangat akrab dengan semua yang hadir di sana. Namun, dengan
penataan yang apik, Pemerintah Adelaide berhasil melebur suasana modern dengan
suasana indignous (adat) yang mereka
miliki. Penghormatan terhadap keberadaan suku Kaurna (yang konon berasal
dari Makasar, Indonesia) diabadikan dengan membuat situs-situs berharga di
antara bebangunan modern di sekitarnya. Perpaduan modern dan tradisional pun
tampak pada sejumlah bangunan yang mempertahankan bentuk asli,
menyiratkan bahwa mereka (orang Australia) adalah pecinta sejarah. Mereka tidak
pernah menampik dari mana mereka berasal.
Penghargaan
privasi dirasakan pula oleh mereka yang hobi berolah raga mengendarai sepeda.
Pada ruas-ruas jalan tertentu disediakan jalur kecil khusus bagi para
pengendara sepeda tanpa risi oleh kendaraan lain di sepanjang jalur jalan itu.
Di kereta api, train, atau busway, disediakan ruang kosong untuk para
pengendara sepeda yang ingin naik kendaraan umum. Bagi para disabilities disediakan pelayanan
khusus. Di trem, kereta api dan busway disediakan tempat duduk, dan bahkan bagi
mereka disediakan tempat parkir yang memadai dan mudah diakses. Di sekolah pun
disediakan tempat khusus untuk para disabilities
sehingga mereka merasa betah dan nyaman berada di lingkungan orang-orang
normal. Bukankah semua itu menjadi bukti bahwa privasi setiap orang sangatlah
diperhatikan?
Hidup
adalah tatanan keteraturan yang harus dipertahankan dan terus dipelihara dari
generasi ke generasi. Demikian mungkin prinsip hidup orang Australia. Bagaimana
mereka terbiasa hidup teratur, pergi kerja, pulang kerja, pergi belajar, dan
pulang belajar, dijalani menurut hitungan waktu yang sudah terjadwal. Satu
menit saja terlena, maka akan ketinggalan kendaraan umum yang kelak membawa
mereka ke tempat tujuan. Menghargai waktu adalah sangat vital. Meskipun
demikian, tidak berarti mereka harus saling menyingkirkan satu sama lain.
Mereka tergesa dalam koridor yang jelas, berdiri pada antrian yang baik. Tidak
heran juga jika di sepanjang jalur jalan raya tidak ditemukan pengendara mobil
saling menyalip atau mencuri jalan orang lain, atau membunyikan klakson hanya
untuk memberi aba-aba agar mobil di depan minggir. Tidak ditemukan pula orang
saling menghardik hanya karena haknya dilanggar orang lain, atau orang
menggerutu karena terjebak macet.
Kiranya
tatanan hidup teratur seperti demikian tidak terjadi serta merta. Ada satu
proses yang kemudian membuat orang Australia terikat akan satu aturan baku
meskipun hakikat aturan itu tidak tertulis. Lebih-lebih jika aturan itu
tertulis sesuai dengan undang-undang rujukan, seperti misalnya peraturan tidak
merokok di tempat-tempat umum, seperti di halte, di dalam gedung ber-AC atau di
dalam kendaraan umum. Mematuhi peraturan lebih mudah dibandingkan harus
membayar denda kepada pemerintah federal. Artinya bahwa keterikatan mereka
kepada aturan adalah hasil dari sebuah pemahaman yang matang. Kemudian
pemahaman itu diterapkan melalui informasi yang jelas kepada generasi
berikutnya, baik berupa contoh maupun pendidikan, sehingga sikap disiplin itu
menjadi sebuah tatanan budaya.
Faktor
lain yang cukup mendukung kondusivitas hidup di Australia adalah jumlah
penduduk yang tidak telalu padat. Bisa dipastikan bahwa satu kepala keluarga
(KK) hanya dihuni maksimal oleh empat orang, sementara jumlah KK di dalam satu
blok tidak lebih dari 10 rumah. Jumlah penduduk dengan tingkat kepadatan yang
rendah ini mencerminkan keberhasilan upaya Pemerintah Australia dalam menekan jumlah
penduduk. Dengan jumlah penduduk yang jarang seperti demikian, sangatlah
mungkin memberikan informasi dan menanamkan disiplin kepada generasi muda secara jelas dan
berkesinambungan. Pun akhirnya berdampak pada terselenggaranya kebiasaan
disiplin di dalam kehidupan sosial secara menyeluruh.
Tertanamnya
disiplin pada seluruh bagian masyarakat tidak terlepas dari manajemen
penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sebagai sebuah pusat kebudayaan, sekolah
menjadi sumber infomasi awal tentang tatanan kehidupan bermasyarakat di
Australia. Dengan bekal pengetahuan dari sekolah, siswa mengaplikasinnya di
dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan masyarakat. Selain itu, kondusivitas
yang sudah terjalin menjadi tauladan yang baik bagi generasi muda untuk kemudian
dicontoh dalam menjalani kehidupan pribadinya. Sungguh sebuah nuansa yang
terekat erat dan menjadi jalinan mata rantai yang tak pernah putus dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Membangun
matarantai disiplin semacam itu bukanlah sebuah hal yang mudah, karena
dibutuhkan komitmen yang kuat antar berbagai lapisan yang berkepentingan. Bukan hanya sekolah yang berperan menanamkan pemahaman awal, namun
kemudian harus ada sinergitas dengan unsur-unsur lain yang terkait. Pihak
Pemerintah memiliki peran melembagakan dan melegitimasi peraturan menjadi sebuah bentuk
baku yang wajib ditaati warga. Selain itu, kebutuhan warga akan berbagai hal,
pendidikan, pekerjaan, ekonomi, termasuk politik, harus dapat dipenuhi
sesuai kapasitasnya, sehingga warga dengan sendirinya memandang Pemerintah
sebagai sebuah lembaga berwibawa yang pantas dihormati. Pada bagian lain, warga
menjadi subyek penting terselenggaranya berbagai peraturan dengan cara mentaatinya
dengan penuh konsekuen. Tanpa sinergitas demikian, mustahil sebuah
peraturan akan berjalan dengan baik, maka mustahil pula kondusivitas hidup
terselenggara.
Alur
kehidupan yang tersaksikan selama mengikuti program pelatihan di
Australia, bagi kami, adalah sebuah rangkaian pembelajaran yang amat berharga.
Mengapa tidak kita mengambil hikmah dari contoh yang ada di Negeri Kanguru
sana?
Akan
sangat sulit memang merubah kondisi Indonesia dengan jumlah penduduknya yang
padat untuk bisa menyamai Adelaide. Kondisi Indonesia yang ada saat ini sudah
sangat menyatu dengan hati dan karakter manusia Indonesia yang heterogen.
Lebih-lebih dengan kondisi daratan yang terpisah-pisah, membangun komitmen
menjadi sesuatu yang sangat sulit dilakukan.
Akan
tetapi, dalam batas yang sangat minimal, pengalaman menarik selama di Australia
menjadi sebuah bekal berharga untuk diterapkan pada diri sendiri. Prinsip bahwa
merubah sesuatu bisa dimulai dari hal-hal kecil dapat diterapkan. Misalnya,
penanaman disiplin sederhana, seperti membuang sampah, antri, berkendaraan, itu
hal-hal yang sangat mungkin dilakukan. Pemahaman kepada siswa di dalam kelas,
selain juga perbaikan strategi mengajar (sebagaimana menjadi temuan selama
menjalani program), dapat dilakukan dengan cerita, contoh, dan visualisasi.
Adapun hal-hal yang menyangkut perubahan kebijakan, pemenuhan struktur dan
infrastruktur yang secara langsung berhubungan kebijakan dan finansial
diserahkan sepenuhnya kepada pihak Pemerintah.
Akhirnya,
mudah-mudahan catatan ini bermanfaat. Selamat
berjuang, Guru Indonesia!
Majalengka, Juni 2012
0 komentar:
Posting Komentar